"The only free people in this world are the people who are fighting for their freedom."—Motaz Azaiza.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Untuk beberapa hari, Salma dan Salim memilih untuk tinggal di rumah paman Usman, setelah meminta izin pada Tayani terlebih dahulu. Di sana mereka menemukan tenaga surya yang bisa digunakan untuk mengisi daya, dan meskipun roti yang dibuat oleh Paman Usman sudah bau dan berjamur, tapi masih ada beberapa sendok tepung yang bisa digunakan untuk membuat roti baru. Mereka memang tidak berpengalaman, tapi berkat kemauan dan rasa lapar, akhirnya mereka mampu membuat beberapa buah roti yang bisa dimakan.
Akan tetapi hari ini persediaan roti sudah habis, tepung juga sudah habis, begitu pula dengan air yang ditampung di bak mandi. Semuanya sudah habis.
“Kita harus kembali ke rumah sakit.”
Salim mengangkat wajahnya. Ia menemukan Salma menjulang dan menatapnya.
“Setidaknya di sana pasti ada makanan. Kita tidak boleh mati kelaparan di sini kalau masih ada pilihan. Laila juga sudah lelah menawari kita untuk kembali.”
“Bagaimana rencanamu setelah itu? Kau mau penjajah itu kembali—”
“Apakah dengan perginya kita, ada perubahan?” sergah Salma dengan suara hampir memekik. Sukses membuat Salim menelan kembali kata-katanya. “Bahkan meskipun kita sudah mengasingkan diri seperti ini, kita masih diancam. Dan apakah mereka berhenti membunuh? Jawabannya adalah, tidak.”
Salim menghela napas. Apa yang Salma katakan memang benar. Setelah semua penderitaan yang mereka rasakan, Salim pikir penjajah tidak akan mengancamnya lagi. Namun ternyata salah, pagi ini ia dan Salma mendapatkan pesan ancaman berisi dua pilihan yang meskipun tidak membacanya, Salim sudah tahu persis apa yang penjajah inginkan; Keluar hidup-hidup atau diam di sini dan menjadi debu.
“Sampai kapan kita akan seperti ini?” gumam Salim sembari menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan.
“Seperti ini bagaimana maksudmu?”
Salim menghela napas. Ia bangkit dan menjejalkan kedua tangannya di saku celana. Menatap Salma lekat-lekat sambil berkata, “Tidak ada pilihan lain, kita harus menerima tawaran Tayani untuk menyeberang ke Mesir bersama Kasia.”
“Kau gila!?” pekik Salma.
Salim memejamkan matanya, lalu menggeleng. Aku tidak gila! Semua orang waras pasti ingin hidup!
“Itu berarti kau juga mengikuti kemauan penjajah itu, Salim.”
“Sudah dua bulan, Salma,” lirih Salim berusaha untuk terdengar tenang. Ia menatap Salma, lalu melanjutkan, “Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku lakukan. Kita semua akan terbunuh. Kita semua terancam.”
“Itu adalah risiko yang bahkan anak kecil saja tahu,” tukas Salma sambil berpaling. “Tugas kita sebagai jurnalis adalah melaporkan fakta di lapangan. Apa pun yang terjadi!”
“Berhentilah berlagak seperti kita adalah pahlawan!” tegas Salim.
Salma membuka mulutnya, tapi tak bersuara. Ia menatap Salim, yang kini menjulang di hadapannya, dengan nanar.
“Kita juga butuh pertolongan, Salma. Kita juga ingin hidup. Kita baru saja berumur dua puluh empat tahun.” Ia hendak meraih kedua bahu Salma, tapi perempuan itu malah menjauh. Menghampiri jendela dan berdiri di sana membelakangi Salim.
“Kau ingat saat kakek mengatakan, jika kita menyerah sebelum berhasil meraih kemerdekaan, sama saja artinya kita mewarisi beban ini kepada anak cucu kita kelak?”
“Dan aku tidak yakin bisa mendapatkan anak cucu jika situasi ini terus berlanjut.” Salim bergerak menghampiri Salma. Ia menarik bahu perempuan itu dan berkata dengan lembut. “Kita harus keluar bersama Kasia ….”
Salma menggeleng.
Salim berusaha keras untuk meyakinkan Salma dengan tatapan matanya, tapi gagal. Salma memilih untuk menekuk wajahnya dan menggeleng lagi. Salim merasakan bahu perempuan itu bergetar, berusaha menahan tangis.
“Kau pikir bisa semudah itu, Salim?”
“Ya ... asalkan kita tidak membuatnya sulit.”
Salma menggeleng lagi.
“Dengar, Salma,” lirih Salim, berusaha meyakinkan perempuan itu sekali lagi, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia lakukan. “Kita bisa keluar ke Mesir. Tayani akan menunggu kita di sana. Kemudian dari sana kita akan melanjutkan perjuangan kita. Meningkatkan kesadaran dunia dari panggung-panggung internasional. Aku yakin kau juga mendapatkan undangan untuk berbicara di berbagai acara, konferensi dan forum internasional, seperti yang kudapatkan. Suami Tayani akan membantu kita. Kau tau? Ternyata dia adalah duta besar Palestina di Inggris. Ini adalah peluang besar, Salma. Palestina membutuhkan lebih banyak pejuang yang mau berjuang dari luar. Selain itu … di sana juga aman.”
Salma mengangkat wajahnya, menatap Salim dengan mata memicing. "Kau terlalu naif, Salim. Berbicara seolah-olah dunia dalam genggamanmu dan semua akan berakhir seperti yang kau inginkan," tukasnya, "Kau tidak tahu? Dunia di luar sana jauh lebih mengerikan daripada di sini. Manusia-manusia di luar sana jauh lebih aneh daripada yang kita temukan di sini," lanjutnya sambil menatap Salim dengan tajam. Suaranya bergetar. "Kalau hidup semudah yang kaukatakan, kita akan merdeka hanya dengan bantuan beberapa orang di luar sana. Bukan malah tetap terpuruk di saat jutaan orang sudah mulai bangun dan berteriak untuk kita. Dan apa katamu tadi ...? Duta besar?" dengkusnya, lalu tertawa sinis dan menepis tangan Salim hingga lepas dari bahunya. "Yang benar saja! Bahkan PBB yang katanya bertugas untuk menjaga kedamaian dunia … kau lihat apa yang mereka lakukan untuk kita?”
Salim terpaku. Menyadari tangannya menggantung di udara, sementara air mata Salma meleleh dan langsung diseka dengan cepat oleh perempuan itu.
“Aku memang naif," lirihnya, menoleh ke luar jendela, lalu menatap Salma dengan mata berkaca. "Tapi aku tidak akan memilih menjadi debu ketika aku punya pilihan lain, Salma ...." Lalu menjauh.
“Aku juga tidak akan meninggalkan tanah ini. Tidak sekarang, tidak juga nanti. Apa pun yang terjadi,” tegas Salma, berhasil mencegat langkah Salim. “Kalau kau memang bersikeras untuk pergi. Pergilah. Aku tidak bisa memaksamu untuk tinggal. Tidak. Aku tidak mau memaksamu untuk tetap di sini.”
Salma berjalan melewati Salim, membuka pintu dan keluar dari rumah Paman Usman tanpa ragu sedikit pun. Sementara Salim menatap punggung kakaknya itu sampai lenyap ditelan pintu. Tangannya bergerak memijat pelipis. Tidak. Ia tidak menyesali kata-katanya sama sekali. Ia hanya ingin Salma mengerti. Bukan malah menyuruhnya pergi seperti ini. Ia hanya ingin Salma mengerti dan berjuang bersama-sama … sekali lagi.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Dalam perjalanan panjang kembali ke rumah sakit, baik Salma maupun Salim tidak pernah membuka suara. Salma berjalan di depan Salim, dan Salim sama sekali tidak berniat untuk menyeimbangkan langkah dengan kakaknya itu seperti yang biasa ia lakukan.
Bahkan hingga tiba di rumah sakit, Salma lebih memilih untuk menghampiri Laila di kamp, sementara Salim memilih untuk masuk ke bangunan rumah sakit.
Di dalam kamp, Salma menceritakan apa yang baru saja Salim katakan pada Laila. Yazed dan Aziz juga datang, mereka akhirnya mendengar semuanya. Namun reaksi mereka membuat Salma mengerutkan kening.
“Kalian tidak terkejut?”
Mereka menggeleng.