Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #17

peaceful

"Never underestimate the power of your word, post, protest, and boycott, you have power more than you think you do."—Plestia Alaqad.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Bagaimana bisa Salim masuk ke dalam film mengerikan ini? Jasad-jasad tak bernyawa bergelimpangan di sepanjang jalan. Darah-darah mengental di atas daging yang terkoyak. Bau amis menusuk hidung sampai ke ulu hati. Perih sekali rasanya. Sakit sekali. Sampai Salim tidak mau bernapas. Sampai ia nyaris tidak mau membuka matanya hingga kengerian ini habis. Namun tidak bisa. Setiap kali Salim memejamkan mata untuk melenyapkan semua itu, yang muncul dalam benaknya hanya Salma, kedua orang tuanya, Malik yang hilang, sahabat-sahabatnya yang lain, anak-anak yang menangis meminta pertolongan, perempuan-perempuan yang meminta perlindungan, dan negerinya yang terjajah.

Aku tidak kabur. Aku tidak berlari pergi. Aku tidak meninggalkan mereka. Aku akan tetap berjuang dari luar sana. Aku tidak boleh mati di sini. Aku tidak boleh mati sebelum melakukan apa-apa. Aku tidak mau kekejaman ini menimpa generasiku selanjutnya. Cukup padaku. Cukup sampai padaku. Cukup ….

Salim membuka matanya, dan menemukan kucing abu melompat ke pangkuannya. Salim membelai kucing itu dengan lembut, lalu jemarinya bergerak cepat merogoh ponsel tanpa alasan. Ia mengklik apa saja dan menggulirkan berbagai menu hanya untuk mengalihkan perhatiannya, sampai tangannya berhenti ketika tidak sengaja mengklik salah satu notifikasi yang belum terbaca.

“Salim, you're amazing. You introduced me to Palestine. Your video was the first I saw regarding this genocide. You have changed my life forever, Salim, you opened my eyes. Free Palestine!”

Salim tertegun. Selama ini, ia tidak pernah meluangkan waktu untuk benar-benar membaca komentar di setiap unggahannya. Namun kali ini, ia merasa seolah seseorang berbicara langsung kepadanya, menggenggam tangannya, dan mengatakan bahwa tindakan kecilnya telah memberikan dampak besar. Seperti sayap kupu-kupu yang mampu menciptakan topan.

“Turunkan aku di sini.” Kalimat itu meluncur dari mulut Salim tanpa bisa dicegah. Ia bahkan terkejut dengan suaranya sendiri.

“Apa yang kau katakan, Salim?”

“Turunkan aku di sini,” ulang Salim sekali lagi. Kali ini dalam keadaan sadar dan dengan keyakinan penuh.

“Ya, aku dengar. Tapi apa maksudmu dengan turun di sini?”

Salim menerawang ke luar jendela. Keadaan masih sama. Tidak ada yang berubah. Bahkan semakin jauh mobil itu membawa tubuhnya melesat, semakin banyak jasad-jasad yang ia temukan. Bahkan tidak sedikit kendaraan terbakar dan memanggang isinya di pinggir jalan. “Aku tidak tahu, tapi aku … akan kembali.”

“Kakak tidak akan ikut dengan kami?”

Salim melihat Kasia. Kekecewaan jelas terpancar di kedua manik anak itu. Jemarinya bergerak menyentuh lengan Salim.

Dengan berat hati, Salim menggeleng. “Maafkan aku, Kasia.”

“Di sini berbahaya, Salim. Setidaknya kalau kau berubah pikiran, kau harus kembali dengan mobil dari Rafah nanti. Jangan turun di sini.”

Salim berpaling ke arah kemudi dan menemukan pria berambut cepak sedang menatapnya dari balik spion yang tergantung di atas. Dia adalah Toni, anggota Save The Children yang ditugaskan untuk membantu mereka menyeberang ke Mesir.

“Apa yang terjadi sampai kau mudah sekali berubah pikiran?”

“Salma … Malik,” kata Salim ragu sembari membelai pucuk kepala kucing di pangkuannya. “Masih banyak yang belum aku selesaikan. Aku tidak mungkin pergi sementara sahabatku berada entah di mana.”

“Bagaimana dengan rencanamu untuk berjuang dari luar?” tanya pria itu lagi. “Pilihanmu sudah tepat, Salim. Kau berjuang dari luar, dan Salma tetap di sini.”

Salim menggeleng. “Salma yang harusnya berjuang dari luar, dan aku yang tetap di sini, menyelesaikan semuanya,” tukasnya.

"Bagaimana kalau ternyata ... kau hanya membuang-buang waktu?"

"Maka Allah pasti Memiliki rencana yang lebih baik untukku."

Akhirnya Toni menghela napas. “Apa pun itu, yang jelas kau harus ingat. Tidak ada yang tahu kapan kemungkinan Rafah dibuka dan Mesir mengizinkan evakuasi ke sana. Jadi, pikirkanlah matang-matang sebelum kau memutuskan untuk kembali.”

Salim menghela napas panjang. “Kau yakin akan ada mobil yang bertolak dari Rafah di situasi ini?”

Toni tampak ragu. “Kita lihat nanti,” jawabnya.

Tepat setelah itu, Salim melihat kepala truk muncul di ujung jalan. Dengan cepat, ia memberi isyarat kepada Toni untuk menyetop truk itu. Saat truk itu melambat dan akhirnya berhenti, Toni memeriksa keadaan sekitar dan segera keluar untuk mendekatinya.

Lihat selengkapnya