"Imagine you learn about 1948 Nakba in schools and from your grandparents and suddenly you find yourself living the Nakba itself."—Motaz Azaiza.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Gelap. Bau amis dan busuk menyiksa rongga hidungnya tanpa ampun, seperti racun yang perlahan merayap masuk. Salim ingat, para militer IDF itu menutup matanya dengan kain kumal yang membuatnya sesak, seolah ada bongkahan besi yang menekan, memaksa masuk ke dalam matanya. Panas, perih, dan memuakkan. Ia ingin menyeka matanya, atau sekadar mengerjapkan agar perihnya berkurang. Tapi kedua tangannya sudah terkunci erat dalam borgol besi yang dingin, meremas pergelangannya hingga kebas.
Ia mendengar jelas suara ponsel dan kameranya dihantam benda keras, mungkin batu atau palu, tepat setelah benda itu terlepas dari tali yang melingkar di lehernya. Bunyi remukannya menghujam telinga dan langsung menohok dadanya, menciptakan rasa sakit yang tak hanya di fisik, tapi juga di hati. Di balik gelap, Salim bisa merasakan harapannya hancur bersamaan dengan kamera itu, benda berharga yang sudah menjadi bagian dari dirinya, sekarang tak mungkin bisa dipakai lagi.
Rompi dan sepatunya dibuka paksa dan dibuang entah ke mana. Sehingga krikil dan debu kasar tak mengindahkan kaki Salim yang diseret-seret tanpa alas sepanjang jalan. Permukaan kulitnya terasa perih, berdenyut-denyut hingga ke tulang. Mungkin tergores, mungkin robek dan berdarah. Tapi Salim tak sempat memikirkan seberapa parahnya luka itu karena setiap sentakan dan hentakan membuatnya limbung, ia tak bisa berjalan normal.
Berkali-kali punggungnya dihantam keras, memaksanya tersungkur hingga hidung dan bibirnya mencium kerikil tajam. la ditarik paksa untuk bangkit, lalu diseret lagi, dan didorong lagi, hingga tak ubahnya seperti anjing. Di antara rasa sakit yang menjalar, Salim paling tersiksa ketika menahan umpatan kesal dan marah. Satu hentakan keras lagi membuat ia bangkit, tawa mengerikan terdengar mengisi udara. Genggaman tangannya semakin kuat, buku-buku jarinya mencuat, bersama urat-urat yang menegang di sekitar leher dan pelipis.
Sengatan matahari yang tadi menyiksa kulitnya, hilang begitu saja dalam satu seretan kasar. Salim bertanya-tanya, di mana ia sekarang? Pijakan yang tadi terasa panas dan kasar kini berubah menjadi lebih padat dan dingin, bukan lagi tanah yang membakar seperti sebelumnya. Ketika ujung jari kakinya menabrak sesuatu yang keras—tembok?—ia tersentak, lalu tubuhnya ditarik ke atas. Gerakan-gerakan kasar itu membuat Salim tak bisa menahan ringisan. Namun ia akhirnya menyadari, mereka sedang menaiki tangga. Ia bisa merasakannya.
Lututnya terus-menerus menghantam anak tangga, perih dan nyeri bercampur menjadi satu karena militer IDF itu menyeretnya dengan setengah hati. Mereka seolah sengaja mempermainkan Salim, membiarkannya terjatuh, karena tahu bahwa kaki Salim sudah dipenuhi luka dan debu yang mengeras.
Dengan satu gerakan cepat, Salim merasakan tubuhnya terhempas keras ke lantai berdebu yang kasar. Satu tangan mencengkeram kaus hitamnya, memaksa Salim terduduk paksa di atas kursi besi yang dingin. Dengan cepat kain Kumal yang menutup mata Salim berpindah ke mulutnya yang dipaksa menganga. Salim benar-benar ingin muntah ketika benda kotor itu menyentuh ujung lidahnya. Cahaya matahari yang masuk dari celah trali besi jendela, menghujam matanya, hingga ia perlu mengerjap beberapa kali untuk bisa melihat. Ia berusaha mencari-cari letak kacamatanya, tapi keadaan tangan yang diborgol membuat ia tidak bisa melakukan apa-apa, selain melirihkan satu nama benda itu. Baru setelah militer IDF itu mundur dan menghalangi sinar, Salim bisa melihat wujudnya yang mengerikan samar-samar. Senyum ejekan yang membuat Salim ingin memberontak—andai saja ia bisa mengabaikan ujung senapan yang mengancam pelipisnya.
“Why go through all the trouble? Just finish him off!”
Salim mendengar seruan remeh itu samar-samar. Dan ia langsung mengerti bahwa dialah yang menjadi objek pembicaraan. Meski ia hanya paham ketika mereka berbicara menggunakan Bahasa Inggris, Salim membuka telinganya lebar-lebar. Ia sadar mungkin sedang sekarat sekarang, oleh karena itu ia tidak boleh lengah. Satu detik waktu yang tersisa baginya adalah sesuatu yang berharga. Ia harus memanfaatkan dengan sebaik yang ia bisa. Ya, setidaknya berjaga-jaga agar ia tidak mati sia-sia begitu saja. Meskipun senapan di pelipisnya bisa saja menembus tengkoraknya sekarang, tapi siapa yang tahu? Bukankah Allah jauh lebih dekat ketimbang pelatuk di ujung jari mereka? Jadi, berharap dan berdoa adalah yang utama.
Derapan kaki kali ini terdengar berbeda. Lebih tegas dan mantap. Salim yang sebenarnya tidak tertarik untuk mengamati satu per satu wajah mengerikan itu, terpaksa mengangkat pandangannya dari lantai berdebu. Matanya tertumbuk pada sepatu boot kulit berwarna hitam, menelan ujung celana kargo hijau berbahan jins. Kemudian, warna biru tua … rompi pers. Salim menghentikan penjelajahannya di sana. Demi Tuhan, ia mengutuk siapa pun di balik rompi pers itu hingga butuh kemantapan untuk benar-benar melihat wajahnya. Urat-urat di leher dan pelipisnya mencuat, berdenyut penuh amarah ketika genggamannya semakin mengeras.
“Hey!” Dengan satu hentakan kasar, dagu Salim terangkat. "Do we need to introduce ourselves again, Man?"
Suara itu terdengar familier, tapi wajahnya … Salim tidak bisa melihatnya dengan jelas tanpa kacamata. Baru setelah wajah itu bergerak semakin dekat, terlihat seringaian licik di sana, membuat kilasan-kilasan lama terputar otomatis dalam ingatan Salim. Lelaki berjanggut tipis, tubuh jangkung dan mengintimidasi dalam setiap gerakannya. Pria yang dicurigai Salma sebagai mata-mata yang bernama ….
“Dasar bodoh!” umpat pria itu sambil menarik wajahnya menjauh. “Di mana kacamatanya!?”
Tentara-tentara itu mulai sibuk menyalahkan satu sama lain sebelum sesuatu yang keras terasa mendorong masuk di atas telinga Salim.
Salim membuka matanya dan sosok itu terlihat jelas. Tidak diragukan lagi, dia adalah Zahid. Untuk pertama kalinya, Salim menyesal sampai ke ubun-ubun telah mengabaikan insting Salma yang sudah terkenal tajam. Salim bisa mendengar gemelatuk giginya ketika pria licik itu tertawa melihat rautnya yang penuh emosi dan sumpah serapah.
“Ah, kurasa tidak. Malik sudah mengatakan semuanya, kan?”
Malik? Mata Salim membulat ketika menyadari satu nama itu. Ya, terakhir kali melihat Malik, pria itu bersama Zahid. Penjajah biadab yang kini menyeringai di depan matanya. “Di mana Malik?” tanya Salim, “Apa yang kau lakukan padanya?”