Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #19

Where

"I want people to know and remember us as a nation who loves life, as a nation who tries to find beauty in everything."—Plestia Alaqad.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Salma mematut diri di depan cermin kecil. Ia tidak bisa tinggal diam. Ia tidak boleh terus-menerus tenggelam dalam rasa sedihnya karena kabar Salim tak kunjung datang. Mengusir rasa putus asa yang menggerogoti hatinya, ia bertekad untuk melakukan sesuatu. Dengan hati yang bergetar, Salma menyibukkan diri membantu Khanza di bangsal umum.

Akan tetapi saat kesibukan mulai berhasil mengalihkan pikirannya, suara gaduh langkah kaki Aziz yang berlari tergopoh-gopoh menembus keramaian, membuat napasnya seolah berhenti.

Kedatangan Aziz pasti membawa berita penting. Dalam hatinya, Salma berdoa agar berita itu merupakan berita baik.

“Ada apa, Aziz? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan penuh harap.

“Salim memutuskan untuk kembali ke sini. Dia ….” Aziz terengah-engah.

Salma mengangguk, maniknya memancarkan kekhawatiran yang semakin dalam. Setiap detik berlalu terasa seperti beban di pundaknya, dan ia tak mampu menyembunyikan rasa cemasnya saat Aziz berusaha keras menjelaskan di tengah napasnya yang tersengal.

“... dia memutuskan untuk kembali menumpangi sebuah truk bantuan, tapi di perjalanan, truk itu dicegat dan Salim berhasil kabur.”

Air mata Salma tak bisa dibendung lagi. Seolah jembatan harapan yang ia bangun runtuh seketika. Ia menatap Aziz, membekap mulutnya sendiri untuk menahan isak tangis yang ingin pecah.

Namun, sebelum mampu mengeluarkan suaranya, Salma melihat Yazed datang di belakang Aziz. Pria itu tidak sendirian; ia datang bersama beberapa volunteers, wajah mereka muram, seolah membawa kabar buruk.

“Salma … kami minta maaf, tapi ini … ini adalah rompi Salim.”

Salma menatap nanar rompi biru muda bernoda darah yang dipegang Yazed. Tubuhnya bergetar hebat, jantungnya serasa terhimpit.

“Mereka menemukannya di pusat kota.”

Kata-kata itu menghantamnya seperti petir. Seolah-olah seluruh dunia terhenti di sekelilingnya. Salma ambruk bersamaan dengan suara seseorang yang meneriakkan namanya.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Banjir? Tenggelam?

Oh tidak, hanya air yang menetes dari tentara IDF yang tertawa licik. Puas sekali mereka mempermainkan Salim. Suara tawa mereka bergema di ruang sempit itu, membuat dada Salim semakin sesak. Setiap tetesan air yang jatuh, terasa seperti ejekan, memperdalam luka yang Salim rasakan. Dingin menyusup ke dalam tulangnya, bukan hanya dari air yang menetes, tetapi dari rasa tak berdaya yang menggerogoti semangatnya. Ia tidak ingin mereka melihat betapa rapuhnya dirinya. Dalam keheningan yang mematikan, ia berusaha merangkai kembali ingatan-ingatan bahagianya, saat senyuman dan tawa menggantikan ketakutan yang kini menyelimutinya.

Akan tetapi, sepertinya tentara-tentara penjajah itu tidak ingin memberinya kesempatan untuk melupakan. Mereka mengelilinginya, menciptakan lingkaran kegelapan yang menakutkan. Dalam pandangan mereka, Salim melihat kesenangan yang tercemar; kesenangan yang lahir dari penderitaan orang lain. Salim tahu, mereka tidak akan berhenti hingga mereka merasa puas. Oleh karena itu Salim membiarkan mereka menikmatinya, sementara ia bertekad untuk tetap kuat. Menantang mereka dengan mata yang penuh keberanian. Jika mereka ingin melihat ketakutannya, maka mereka harus berjuang lebih keras lagi.

Meski di sisi lain, Salim terus bertanya-tanya, tentang apa yang terjadi pada Malik. Tentang apa yang terjadi padanya dan apa yang istimewa dalam dirinya sehingga para tentara penjajah ini lebih suka menyiksanya, daripada langsung membunuh? Apa yang membuat mereka begitu yakin untuk terus mengulurkan waktu? Bukankah seharusnya kematiannya adalah yang mereka inginkan? Atau justru ada yang lebih penting dari itu?

Samar-samar, setelah penjajah itu menarik paksa tubuhnya dan mendudukannya di atas kursi besi yang dingin, Salim menemukan layar tablet yang menyala di atas meja yang terletak beberapa meter di depannya. Layar tablet itu menampilkan wajah familier yang babak belur. Awalnya Salim mengira itu adalah pantulan dirinya sendiri, tapi ketika pria itu terlihat tanpa kacamata, ia langsung mengenalinya.

“Malik?”

Salim?"

“Apa yang terjadi?”

“Ma-maaf. Maafkan aku. Ma-maafkan aku, Salim. Mereka mengancamku. Mereka—” Seorang militer penjajah memukul tengkuk Malik dengan kasar hingga membuat pria itu diam.

“Talk in English!” pekik penjajah itu. Ia mengancam Malik dengan pistol yang ada di tangannya.

“Calm down, and tell me … what's going on,” ujar Salim, berusaha terdengar tenang.

Jujur saja, ia sangat senang melihat Malik masih hidup, tapi ia tetap khawatir melihat keadaan pria itu, lebih-lebih menyadari apa yang menimpa mereka berdua saat ini.

“T-they … they would kill my family. They'd kill my wife if I didn't do what they said.” Suara Malik bergetar ketakutan. Dahinya berkerut, sementara wajahnya basah oleh air mata, ingus, bercampur darah.

“What they said?” tanya Salim, mematuhi penjajah untuk terus berbicara menggunakan Bahasa Inggris.

Mata Malik bergerak melirik pistol di pelipisnya, lalu dengan takut-takut, ia mulai menjelaskan awal mula penjajah memintanya untuk terus menginformasikan keberadaannya dan Salma, kemudian berlanjut pada tahap untuk mencegah mereka mengunggah konten-konten di media sosialnya. Namun Malik berterus terang bahwa ia tidak bisa melakukannya. Hingga penjajah terus mengancamnya, bahkan mendatangi istrinya, dan membuat Malik kebingungan, tidak tahu harus melakukan apa.

Lihat selengkapnya