"Should we really wait for the whole world to experience a genocide or occupation for them to understand?"—Motaz Azaiza.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Salma duduk di depan kamera dengan hati yang berat, dikelilingi oleh kesunyian malam yang menyelimuti kamp pengungsian tempat ia dan para volunteers beristirahat. Lampu-lampu redup di belakangnya menyoroti wajahnya yang kian tirus. Dengan napas dalam, ia menekan tombol rekam, memulai pesan penting yang harus ia sampaikan kepada dunia.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Suaranya terdengar tenang dan tegas, bergetar dengan amarah yang berusaha ia kendalikan. "Saudaraku, Salim, telah ditawan secara paksa oleh penjajah. Ia telah hilang selama beberapa hari, dan kami belum mendapatkan kabar apa pun tentang keberadaannya."
Salma berhenti sejenak, mengambil napas dalam. Rasa sakit akan kehilangan terasa begitu nyata, tapi ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk berlarut dalam kesedihan. Dunia harus tahu apa yang terjadi.
"Sebelum ditangkap, Salim sempat merekam keadaan terakhir. Ini adalah video yang berhasil kami temukan dari memori yang Salim tinggalkan," lanjutnya.
Tangannya bergerak, menampilkan potongan video terakhir yang ia maksud.
“Sayangnya tidak ada petunjuk ke mana IDF membawa Salim, mereka bahkan tidak mengakui penangkapan yang mereka lakukan, dan tidak ada nama Salim dalam daftar tangkapan yang mereka berikan. Namun dalam video ini jelas terlihat seragam tentara-tentara IDF yang mengancamnya. Kalian bisa menemukan video asli pada slide berikutnya.”
Salma kembali muncul di layar, wajahnya penuh harap meskipun situasi mendukungnya untuk putus asa. "Kami membutuhkan pertolongan dari siapa pun yang bisa membantu menemukan Salim. Menurut informasi terakhir dari anggota Save The Children yang membawa Salim menuju Rafah, Salim kembali menuju Nuseirat menumpangi sebuah truk bantuan sebelum IDF menyetop truk itu di tengah jalan, dan Salim berhasil kabur," jelasnya dengan mata berkilat. "Kami tidak tahu di mana Salim sekarang, tetapi kami yakin dia masih hidup dan butuh bantuan kita. Mohon, jika ada yang memiliki informasi tentang Salim, hubungi kami."
Pesannya selesai, dan Salma terdiam sejenak sebelum menekan tombol berhenti.
Laila, yang sejak tadi berada di sampingnya, langsung memeluk Salma.
Setelah video itu diunggah ke berbagai platform media sosial, ia hanya bisa berharap bahwa suaranya dan kebenaran yang ia bawa akan menggema di seluruh penjuru dunia, mendorong orang-orang untuk bergerak dan membantu menemukan saudaranya yang hilang.
🇵🇸🇵🇸🇵🇸
Zahid datang menarik kursi dan duduk di hadapan Salim dengan tatapan tajam. "Lepaskan borgolnya," perintahnya kepada tentara IDF yang berdiri di belakangnya.
Salim merasakan rasa sakit di pergelangan tangannya saat borgol itu dilepas. Ia menarik tangannya ke depan sambil menahan rasa nyeri dan kaku yang kuat. Ia kemudian menemukan Zahid menatapnya.
Pria itu memperlihatkan sepotong roti yang terletak di atas meja dengan dagunya. "Makanlah."
Salim menatap roti itu, dan perutnya mulai keroncongan. Entah sudah berapa hari ia tidak makan. Terakhir kali, tentara-tentara IDF itu dengan tidak manusiawi menjejelkan sepotong roti ke dalam mulutnya. Hingga Salim terpaksa mengunyah dalam keadaan mulut berdarah, dan berusaha menelannya meski ia langsung mual.
"Gosh, can't believe I have to do this sh …!” umpat Zahid sambil berdecak kesal.
Salim tak peduli dengan racauan pria itu. Ia menghela napas panjang, lalu meraih sepotong roti yang disediakan. Setidaknya, kalau ingin menang dari penjajah, ia harus tetap makan untuk mengisi energi dan melawan. Jadi, ia menggigit roti itu dalam potongan besar, mengunyahnya dengan keras meski teksturnya sangat kering dan tidak menarik.
Salim melirik Zahid dan menemukan pria itu menatapnya dengan sinis.
“Kuharap ada racun di dalam roti itu,” ucapnya.
Salim masih tak peduli. Ia terus menyantap roti itu sampai habis.
“Menurutmu, kenapa kami tidak langsung membunuhmu daripada melakukan semua ini?" Mata Zahid berkilau dengan sinis. "Yup, karena akun media sosialmu yang memiliki pengikut dua puluh juta manusia itu jauh lebih berharga daripada nyawamu," lanjutnya, meskipun Salim tidak mengatakan apa pun.
"Oh, sebenarnya tidak juga." Zahid melanjutkan, bersikap seolah sedang menghibur. "Tentu saja kami bisa mencari seseorang untuk melenyapkan akunmu dengan mudah." Dia membuka kedua tangannya, seolah menunjukkan betapa mudahnya tindakan itu. "Tapi, kami cukup baik untuk mengetahui kau punya harapan besar tentang mimpimu," katanya dengan nada mengejek. Zahid kemudian membuka ponselnya, bersenandung sambil menggulir-gulirkan layar.
Salim terus memperhatikan gerak-gerik pria itu, tapi ia belum berniat untuk membuka suara sama sekali.
"Capturing this beautiful country through my lens .... Wow!" Lalu melirik Salim dengan raut mengejek. "Mimpi yang manis, kawan," lanjutnya, kemudian tertawa.
Salim tertegun mendengarnya. Itu adalah keterangan yang ia tulis pada unggahan ketika ia memenangkan lomba fotografi di Kairo, empat tahun lalu. Unggahan berisi fotonya yang sedang melakukan selebrasi di atas panggung. Salim ingat sekali, Malik hadir hari itu bersama teman-temannya yang lain.
"Sekarang ...." Zahid melanjutkan, suaranya mendadak serius.
Ponsel di tangannya terbuka, menunjukkan akun media sosial Salim yang menampilkan pengikut yang terus bertambah menjadi dua puluh satu juta.
Zahid menarik kembali ponselnya dan menekuni benda itu. "Jika kau menghapusnya, kami akan membebaskanmu dan membiarkan kau hidup untuk meraih mimpimu yang …." Dia menggantung kalimatnya, alisnya nyaris bertaut, menatap layar ponselnya dengan penuh konsentrasi.