Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #21

You?

"They tried to bury us, but they didn't realize we were seeds!"—Motaz Azaiza.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Salma sedang sibuk bersama Laila dan beberapa volunteer lain, mempersiapkan makan malam di kamp pengungsian. Di tengah aroma masakan yang menyebar di udara, ia langsung menoleh ketika melihat Aziz berjalan mendekat dengan langkah tergesa.

Wajah pria itu serius, tapi senyum tipis yang ia tunjukkan membuat Salma berharap.

“Ada apa, Aziz?” tanyanya.

Aziz menggeleng. “Aku belum mendengar apa pun, Salma. Wawan ingin berbicara langsung denganmu,” jelasnya sambil menyodorkan ponsel pada perempuan itu.

Dengan tangan sedikit gemetar, Salma menerima ponsel itu. Ia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya menempelkan benda itu ke telinga kirinya. Suara sapaan Wawan terdengar pelan dan berat, membuat Salma menelan ludah, firasat buruk berbisik dalam pikirannya. Namun, ia cepat-cepat mengusirnya, dan menanyakan pada Wawan, terkait informasi yang pria itu dapatkan.

Setelah terdiam sejenak, akhirnya Wawan mulai berbicara. Ia menjelaskan bahwa volunteers yang mencari keberadaan Salim, berhasil menemukan titik terakhir yang direkam oleh GPS yang ia miliki. Sebuah gedung kosong berlantai sembilan di pusat kota. Namun, ketika mereka tiba di lokasi, gedung itu sudah hancur berkeping-keping. Dan beberapa meter dari reruntuhan, mereka menemukan gagang kacamata tanpa lensa, yang mereka yakini sebagai milik Salim.

Salma terdiam mendengar penuturan Wawan. Matanya membesar saat menyadari kemungkinan terburuk. Ia menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Laila yang menyadari gelagat Salma dari kejauhan, segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas merengkuh perempuan itu.

Saat itu, Yazed tiba di kamp bersama Khanza setelah meninjau kondisi di dalam rumah sakit. Melihat wajah Aziz yang serius dan Salma yang berusaha menahan tangis, Yazed segera menghampiri mereka. “Ada apa? Apa ada kabar tentang Salim?”

Aziz langsung menjelaskan situasi yang mereka dapatkan. Ia memperlihatkan foto kacamata yang Wawan kirimkan. Menyadari itu, raut wajah Yazed berubah. Sorot matanya mengeras. “Sepertinya … kita harus memeriksa ke sana,” usulnya pada Aziz yang langsung disetujui oleh pria itu.

Yazed bertekad. Ia tidak akan pernah tinggal diam setelah apa yang Penjajah lakukan kepada kedua temannya.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Kening Salim berkerut dalam. Tangannya bergerak memijat pelipis ketika ia berusaha keras untuk menyadarkan diri. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dengan sekuat tenaga, ia menarik diri untuk bangkit di atas alas kasar yang terasa dingin dan keras. Setelah duduk, ia berusaha membuka matanya dan mencaritahu apa yang terjadi padanya. Namun, pandangannya kabur. Ia meraba-raba wajahnya dan tak menemukan kacamatanya di sana. Ia mencoba memutar ingatan dan yang muncul hanya ketika ia berusaha menyelamatkan diri, militer IDF yang berhasil ditaklukkan oleh pasukan perjuangan, dan setelah itu semuanya gelap.

“Bagaimana kabarmu?”

Salim mengerjap. Mencari tahu siapa yang berbicara, tapi hanya siluet samar yang ia temukan.

“Aku tidak yakin ini cocok denganmu, tapi … mari kita coba,” lanjut pemilik suara itu, yang bergerak mendekat, hingga membuat Salim terperanjat dan buru-buru menarik wajahnya ke belakang.

Sejurus kemudian Salim merasakan sesuatu yang keras memaksa masuk ke atas telinganya. Ia mengerjap, kepalanya terasa semakin pening, tapi beberapa detik setelahnya ia menemukan pandangannya membaik. Ia bisa melihat dengan lebih jelas, dan menangkap siluet tadi berubah menjadi pria gagah yang tersenyum ramah padanya.

“Pas?” tanya pria itu. “Itu adalah bekas kacamata Fatih, salah satu prajurit kami yang telah gugur.”

Salim mengangguk, lalu menggeleng sambil memejamkan matanya. Rasa sakit itu datang lagi, dan ia merasa sedikit tersiksa karenanya.

“Yah … wajar kalau kau masih merasa sakit. Lihatlah dirimu sekarang.”

“Bagaimana ….” Salim menggeleng, memijat pelipisnya lebih keras, sambil memilih kata yang tepat untuk mengawali kebingungannya. “Apa yang terjadi?”

“Kau tidak ingat apa yang menyebabkan luka-luka di sekujur tubuhmu ini?” Pria itu menunjuk sekujur tubuh Salim dengan telapak tangannya.

Setelah merasa lebih baik, Salim memeriksa dirinya. Meraba wajah, pergelangan tangan, berjalan ke bahu, perut dan ke seluruh tubuh. Dan ia segera menyadari penuh perban dan plester di sana sini. “Aku ingat,” gumamnya, lalu mengangkat wajah dan melanjutkan, “Maksudku setelah itu, apa yang terjadi?”

Pria gagah yang Salim yakini sebagai salah satu prajurit pejuang kemerdekaan itu, bergerak dengan gesit, memindahkan lampu portable di ujung tikar, dan meletakkannya di atas meja. Salim mengikuti setiap gerakan dengan sorot mata yang lemah, hingga menemukan pria itu mengambil tempat di sampingnya.

Lihat selengkapnya