Dear, Peaceful Day, Where Are You?

Pie
Chapter #22

Peaceful Day—Here I am

"If we can't find the peaceful day, then we will creat it!"—Salim & Salma

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

Hari-hari yang Salim jalani terasa jauh lebih lama daripada biasanya. Mungkin karena ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, atau karena ia sangat ingin keluar dari terowongan ini. Entahlah. Yang pasti, Salim selalu berusaha menguatkan dirinya setiap waktu. Sambil membayangkan hari yang damai itu akhirnya kembali ke pelukannya dan pelukan rakyat Palestina. Hingga beberapa hari kemudian, sabarnya pun berbuah. Mohammed menyatakan ia sudah pulih sepenuhnya dan tidak akan tumbang dengan mudah.

Salim pun menerima pelatihan dasar sederhana, ketika ia menerangkan pada prajurit-prajurit di sana, kalau ia menghabiskan sebagian besar masa remajanya dengan latihan fisik dan ketangkasan.

“Pakai ini,” kata Abu Laith, salah satu prajurit tangguh yang menyisihkan waktu untuk membantu Salim dalam pelatihan.

Ia menyerahkan sebuah pistol yang beberapa hari ini terasa familier di tangan Salim.

“Situasi di luar mungkin tidak seburuk yang kubayangkan, tapi ini akan menolongmu,” lanjutnya.

Salim mengangguk dan tersenyum penuh semangat.

“Jadi, berapa lama kau menerima latihan fisik?” celetuk Fuad. Pria itu sedang sibuk mempersiapkan senjata, tapi ia juga menunggu jawaban Salim.

“Tiga hari."

“Tidak. Maksudku di kamp Deir Al Balah.”

“Oh itu.” Salim tertawa kecil. “Sejak umur tujuh, sampai dua puluh. Kakekku adalah seorang pejabat keamanan dalam Unit Khusus,” jelasnya.

Fuad berdecak kagum. "Jadi ... bukankah seharusnya kau lebih hebat dari kami?" selorohnya kemudian.

“Menurutku juga seharusnya begitu,” sahut Salim, hingga membuat prajurit-prajurit di sekitarnya tertawa.

Sementara mereka mempersiapkan diri, Salim mengamati benda di tangannya. Ia langsung teringat sang Kakek. Seorang pria tangguh yang telah mengajarkan banyak hal padanya. Seorang pria tangguh yang jika saja penjajah tidak merenggut penglihatannya, ia akan menjadi salah satu penembak jitu pada masanya.

“Sedikit lagi penjajah akan menjadi peramal yang ulung,” gumamnya sambil membolak-balik pistol di tangannya.

Dari balik kafiyeh yang menutup sebagian besar wajahnya, Abu Laith mengangkat alis pada Salim.

Salim tertawa dan menjelaskan, “Mereka mengatakan aku berkomplot dengan Hamas dan memiliki senjata.” Ia mengangkat pistol di tangannya, hingga membuat mereka semua mengerti.

“Sayangnya kami adalah Al Quds,” sahut Naser yang datang merangkul Salim. Hingga membuat mereka semua kembali tertawa.

Salim memperhatikan mereka semua satu per satu sebelum akhirnya, Abu Laith menyadarinya dan langsung memeluknya dengan erat.

"Senang bertemu denganmu, Salim."

"Aku juga," balas Salim ketika Abu Laith melepas pelukannya. "Aku tidak akan pernah melupakan hari-hari di sini dan kalian. Terima kasih."

Mohammed datang dan langsung memeluk Salim. Fuad dan Naser turut bergabung. Melihat itu, Abu Lait kembali merentangkan kedua tangannya dan merengkuh mereka semua.

Waktu beberapa hari telah sukses membangun rasa cinta dalam hati Salim, bersama prajurit-prajurit pejuang kemerdekaan yang begitu terbuka menerimanya. Dalam hati, Salim berdoa dengan tulus, semoga suatu hari nanti, saat hari yang damai itu kembali, mereka masih memiliki kesempatan untuk bertemu lagi.

🇵🇸🇵🇸🇵🇸

"Bagaimana hari ini?" tanya Salma dalam sebuah pesan di grup.

"Selesai!"

"Aku juga!"

Yazed dan Laila membalas dengan cepat.

"Selesai, unggahan harian untuk beberapa minggu ke depan. Free Palestine!" balas Aziz dan membuat Salma tersenyum, karena pria itu ada di hadapannya sekarang.

Aziz sedang melakukan ujicoba kompor tenaga surya dengan seorang warga lokal, yang ternyata adalah seorang insinyur lulusan Beirut. Ia menyempatkan diri membalas pesan di grup, meskipun matanya tampak fokus mengamati benda di hadapannya.

"Aku sedang berkumpul dengan jutaan rakyat Indonesia di Jakarta hari ini. Free free Palestine! Misi akan selesai nanti malam," balas kontak bernama Mariam yang langsung menarik perhatian Salma dari Aziz.

Ia mendapatkan kontak Mariam dari Wawan. Ternyata, pria itu mengenal suami Mariam karena mereka berada dalam organisasi yang sama.

"Oh iya, aku baru saja bergabung ke sebuah grup khusus berisi ribuan anak muda Indonesia yang siap menggunakan media sosialnya untuk bersuara. Hebat, bukan?" imbuh Mariam, yang langsung diserbu dengan pujian-pujian dari Laila dan Yazed.

Lihat selengkapnya