Alvin duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela café. Rupanya dia datang terlalu cepat dari waktu yang dijanjikan. Dia berpikir, lebih baik begini daripada terlambat.
Café itu tampak belum terlalu ramai. Suasana lengang masih terasa. Hanya ada tiga pengunjung selain dirinya. Seorang pelayan tampak sibuk melayani tamu yang lain. Pelayan yang sama telah mengantarkan pesanannya tiga puluh menit yang lalu.
Alvin tampak bosan. Segelas es teh manis pesanannya mulai mengembun dan membasahi taplak meja. Alvin meneguk minuman itu hingga tinggal separuh. “Datang terlalu cepat nggak enak juga ternyata," gerutunya dalam hati.
Ia meraih ponsel di hadapannya dan membuka kembali pesan singkat itu. Jarinya mengetik sesuatu pada layar sentuh itu. Setelah berpikir sejenak, dia menghapusnya. Lalu mengetik lagi. Menghapus lagi. Mengetik. Menghapus. Mengetik. Menghapus. Sampai akhirnya dia meletakkan kembali smartphone itu dengan gusar.
“Arrrggh!” Teriakan frustasi itu hanya berani ia lakukan dalam hati. Bisa gawat kalau Alvin benar-benar meneriakkannya disini.
Ternyata menunggu itu bisa membuat gelisah seperti ini. Jarinya mengetuk-ngetuk meja. Pandangannya menatap keluar jendela. Berharap sosok yang dinantikannya segera muncul.
Alvin melamun membayangkan sosok yang dinantikannya itu. Wajahnya lembut dan ramah. Dengan senyum yang mampu membuat jantungnya berdegup kencang yang tak pernah dirasakan Alvin selama ini.
Meskipun hanya melalui foto yang dilihat melalui chat, Alvin bisa merasakan bahwa dia yang selama ini dicarinya. Mungkin terdengar klise, tapi Alvin merasa dia sudah jatuh cinta pada orang itu bahkan sebelum bertemu dengannya. Seperti judul lagu dari band favoritnya Savage Garden, I knew I Love You Before I Met You, tampak mewakili perasaannya.
Alvin mengingat kembali perkenalan mereka pertama kali. Berawal dari grup chat bernama Random yang diikutinya, dia mengenal gadis ini. Grup yang isinya benar-benar random alias acak tak beraturan. Membahas segala yang bisa dibahas. Begitu tidak jelasnya grup ini, dari bahasan yang serius bisa berakhir tanpa kejelasan. Dari yang awalnya membahas A, tiba-tiba saja berakhir dengan membahas Z.
Grup yang beranggotakan seratusan orang itu menjadi hiburan tersendiri baginya di sela-sela kesibukannya mengerjakan skripsi dan kerja sambilannya. Grup yang tidak pernah berhenti berbunyi sepanjang hari. Sampai dia sendiri heran, apakah orang-orang ini benar-benar tidak ada pekerjaan lain selain chatting.
Tak jarang ada ratusan bahkan ribuan pesan yang belum terbaca saat Alvin bangun keesokan harinya. Kalau sudah begitu, Alvin hanya membaca seperlunya saja. Sesekali membalasnya. Dan matanya selalu berhenti pada sebuah nomor. Khusus untuk nomor ini Alvin selalu membalas pertanyaannya ataupun menanggapi leluconnya.
Setiap kali berbalas pesan dengannya, Alvin merasa ada rasa istimewa tumbuh dalam hatinya. Hanya dengan berbalas pesan di grup, Alvin merasa seperti sudah lama mengenalnya.
Sejauh ini orang-orang di grup cukup membuatnya heran sekaligus tertawa. Sampai-sampai Leo jadi kesal melihatnya. Beberapa waktu ini sobatnya itu cukup sering memainkan ponselnya sehingga kebersamaan mereka pun sedikit terganggu.
“Diiih hape mulu diliatin!” ledek Leo suatu malam. Saat itu mereka sedang santai di ruang makan setelah makan malam dengan beberapa anak kost lainnya. “Cari cewek sono, masa pacaran sama hape?!”
“Apaan sih lo!” balas Alvin tak peduli.
“Ya elo kalo udah mantengin hape, yang lain cuma pajangan doang!” cetus Leo. “Kayak lo nggak punya kehidupan lain selain chatting.”
“Duuuh bang Leo jealous nih!” ejek Nico yang duduk di seberang Alvin. Rexy dan Agus di sebelahnya ikut tertawa.
“Awas bang Leo posisimu digeser oleh hape!” Rexy ikut menimpali.
“Heh! Kalian ini adik kost nggak menghormati senior ya?!” Leo memasang tampang galak. “Bukannya bantuin malah ikut ngeledek!”
Alvin terkekeh melihat sikap Leo yang kekanak-kanakan. Dia menyadari banyak waktu yang hilang setelah dia bergabung dengan grup chat itu. Namun bagaimana lagi, perasaan sudah mengalahkan logikanya. Alvin tak bisa lepas dari grup itu. Atau lebih tepatnya pada gadis itu.
“Awas kalau sampai skripsi lo molor gara-gara grup nggak jelas gitu!” ancam Leo. “Gue hajar lo sampai nggak bisa chatting lagi!”
Leo bangkit berdiri. “Gue ngomong gini karena lo sahabat gue. Gue nggak mau kuliah lo ancur gara-gara masalah sepele begini.” Leo menepuk bahu Alvin.
“Udah berapa lama lo nggak bimbingan? Lo mau gue duluan yang wisuda?” Leo mengingatkan janji mereka dulu. Mereka berjanji akan lulus bersama-sama.
“Udahlah! Gue balik kamar dulu,” pamit Leo.
Sejenak semua yang ada di ruang makan terdiam. Tak lama terdengar geretan kursi yang diduduki Rexy dan Agus. Mereka sudah berdiri dan hendak kembali ke kamarnya.
“Kami duluan, Bang,” pamit Agus lalu meninggalkan meja makan bersama Rexy.
Alvin membisu di meja makan. Ponselnya yang masih menyala, menampilkan sejumlah pesan baru yang masuk.
Pikiran sehatnya membenarkan ucapan Leo. Sejak ada grup chat ini, perhatian Alvin teralihkan dari dunia nyata. Sepertinya Alvin hidup dalam dunianya sendiri dan melupakan kehidupan yang sesungguhnya. Dia seperti disadarkan kembali apa yang menjadi kewajibannya.