Leo tak habis pikir dengan sikap Maya, terlebih Alvin yang begitu saja mengiyakan ajakan Maya untuk bertemu.
“Yah! Itu keputusannya sih,” ujar Leo pasrah. Walaupun Alvin sahabatnya, dia tak berhak mencampuri urusan mereka terlalu jauh.
Leo masih ingat bagaimana waktu itu Alvin pulang dengan keadaan seperti orang linglung. Leo tahu bahwa Alvin baru saja pulang dari tempat Maya. Dan begitu tahu apa yang terjadi, Leo sangat marah.
Hari itu, sebenarnya tidak ada janji kencan apapun dengan Maya. Alvin yang sempat pulang ke kotanya, kembali lebih cepat dari yang seharusnya. Dia ingin memberi kejutan pada Maya, karena itu dia mengunjunginya diam-diam.
Alvin sudah siap dengan bungkusan oleh-oleh dari kotanya lalu berangkat ke tempat Maya. Dia berpikir Maya pasti akan sangat terkejut melihat kedatangannya. Perasaan rindunya pada Maya juga menggebu-gebu. Meskipun bisa berkomunikasi melalui video call, tetap saja bertemu secara langsung itu lebih menyenangkan.
Cuaca cerah secerah hati Alvin yang hendak menemui kekasih hatinya. Sepanjang perjalanan bibirnya tak henti-henti menyenandungkan sebuah lagu. Bahkan saat terkena macet di jalan yang panas, ia tetap tersenyum.
Namun yang terjadi ketika Alvin sudah sampai di rumah Maya, sungguh di luar dugaan. Bukan Maya yang terkejut dengan kedatangan Alvin tiba-tiba, tapi sebaliknya. Alvin mendapati pemandangan yang membuatnya mematung.
Laki-laki itu melihat mobil Maya yang terparkir di luar pagar rumahnya yang besar. Alvin menghentikan motornya hanya beberapa meter di belakang mobil yang masih menyala mesinnya.
Dari kaca belakang Alvin melihat sebuah bayangan di dalam sana. Jelas ada orang di mobil merah itu. Alvin berjalan pelan-pelan mendekatinya. Begitu sampai di depan mobil, dia berhenti.
Apa yang dilihatnya saat itu membuat seluruh tubuhnya bergetar menahan emosi. Alvin mencoba berpikir realistis tentang keadaan itu. Namun dilihat dari sisi manapun, ini jelas salah.
Maya adalah kekasihnya, sedangkan yang berciuman di dalam sana bukan dia. Sebisa mungkin Alvin menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Ia berharap Maya bisa menjelaskan semuanya.
Gadis itu menyadari ada seseorang yang berdiri di luar sedang mengamatinya. Ia melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang menciumnya. Ada sedikit ekspresi terkejut di wajahnya tapi ia segera menguasai diri.
Alvin masih diam di tempatnya ketika Maya keluar dari mobil dan menghampirinya. Sikapnya santai sekali, seperti itu bukan masalah baginya.
Gadis itu tersenyum. Dengan satu tangan ia mengibaskan rambutnya ke belakang, dan tangan yang lain mengipasi lehernya. Alvin melihat ada semburat merah di sana. Tangannya mengepal cukup kuat menahan geram.
“Fiuuh! Panas ya hari ini?” Maya berkata santai. Seharusnya jika memang dia tidak berniat melakukannya, dia akan terkejut. Paling tidak, dia akan memberikan penjelasan. Namun berbeda dengan Maya. Seolah memang sengaja melakukannya, atau sering melakukannya, dia tidak memberikan penjelasan.
Alvin masih diam. Dadanya naik turun mengatur napasnya yang terdesak oleh emosi. Dia berusaha berpikir jernih dan tidak gegabah. Ia lalu berkata, “Iya, memang panas sekali hari ini… wajah dan lehermu tampak memerah.”
Maya memain-mainkan bola matanya. “Kok udah balik?” Maya tidak menggubris ucapan Alvin.