Di sebuah kedai kopi dekat rumah Maya, Alvin memarkir motornya. Setelah memastikan keamanannya, ia langsung menuju pintu masuk.
Alvin masuk ke dalam café dan melihat Maya sedang menunggu dirinya di sudut ruangan. Di tempat itu tersedia sebuah meja kayu dengan sofa yang menempel dinding berhiaskan bingkai kayu dengan bermacam-macam tulisan motivasi.
Gadis itu segera menyambut Alvin. “Ah! Kamu datang juga,” katanya mempersilakan Alvin duduk. Dia senang karena Alvin merespon ajakannya.
Lelaki itu mengambil tempat di hadapan Maya. “Ada apa?” tanyanya tanpa basa basi.
Maya tersenyum. Senyum yang lama sekali tak terlihat oleh Alvin yang dulu membuatnya menyukai gadis itu.
“Apa kabar?” Gadis itu balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Alvin.
“Baik. Kamu?”
“Tentu saja!” sahut Maya bersemangat. Wajahnya terlihat segar dengan make up tipis. Rambutnya bergelombangnya tidak berwarna coklat lagi, melainkan hitam bersinar. Sepertinya dia mengubah penampilannya baru-baru ini.
“Langsung aja, May,” kata Alvin. “Ada perlu apa?”
“Jangan buru-buru dong, Vin,” sahut Maya merajuk. “Kita baru ketemu lagi setelah tiga tahun. Aku kangen tahu!”
Alvin menghela napas. Ternyata Maya masih sama saja, sama agresifnya seperti dulu. Ia mengira ada perubahan dari sikap Maya, bukan hanya penampilannya saja. Alvin mencoba bersabar.
“Lalu kamu mau apa?” tanyanya. “Bukannya kamu sendiri yang menghilang waktu itu?”
Maya terdiam. “Ah, benar! Tujuanku memintanya ke sini kan karena hal itu,” kata Maya dalam hati menyadari tujuan pertemuan ini.
“Iya,” jawab Maya lirih. Ekspresi wajahnya seketika berubah menjadi lebih sedih. Alvin berpikir, dia ini sedang berpura-pura atau serius?
Menjalin hubungan dengan Maya walau singkat, Alvin tahu Maya adalah gadis yang sangat ekspresif dan agresif. Selama Alvin mengenalnya, tak pernah sekalipun ada nada sedih yang keluar dari mulutnya. Maka dari itu, sikap Maya yang berubah cepat seperti ini membuat Alvin ragu.
“Iya, memang aku yang menghilang waktu itu,” lanjut Maya. Pandangannya menerawang entah ke mana.
Lelaki itu menunggu kelanjutan cerita Maya. Dia benar-benar penasaran. Apakah semua berita yang beredar itu benar? Apakah ada alasan lain dibalik ini semua?
“Aku minta maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Maya setelah diam beberapa saat.
Alvin menarik napas panjang, lalu kembali memandang wajah sedih di depannya. “Aku sudah memaafkanmu sejak dulu,” katanya.
“Dan aku sudah melupakannya,” lanjutnya lagi.
Jawaban Alvin membuat Maya terharu. Sebutir bening air mata terlihat di sudut matanya. Cahaya lampu café membuat matanya terlihat mempesona meski ada genangan airmata di sana.
“Aku hanya penasaran kenapa-,” kalimat Alvin terhenti ketika ada pelayan yang menghampiri meja mereka.
“Selamat sore! Apakah anda sudah siap memesan?” tanya pelayan itu ramah.
“Teh manis hangat saja,” Alvin menjawab setelah melihat-lihat daftar menu.
“Samakan saja,” kata gadis itu. “Kamu nggak pesan makan juga? Sebentar lagi makan malam.” Maya berharap bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan lelaki di depannya.
“Nggak usah,” jawab Alvin pendek.
“Baik! Silakan tunggu sebentar,” kata pelayan lalu berbalik meninggalkan mereka dalam keheningan.
“Tadi kamu bilang apa?” tanya Maya memecah kebisuan itu.
“Kamu sendiri bukannya ada yang mau diomongin?” tanya Alvin tegas. “Itu tujuan kita di sini kan?”
Alvin mulai hilang kesabaran dengan sikap Maya yang berbelit-belit. Ia merasa cukup lelah dengan semua yang terjadi waktu itu dan tidak ingin mengulangnya lagi.
Maya sedikit tersentak melihat reaksi Alvin yang tak terduga. Sepertinya bukan hanya dia yang berubah, tapi laki-laki yang dirindukannya ini juga berubah.
“Aku capek, May,” desah Alvin lemah. “Dan aku udah mengatasi itu semua. Lalu sekarang kamu seperti ini. Apa lagi maumu?”