Deadline kompetisi dan skripsi kian dekat. Alvin harus pandai-pandai membagi waktu antara mengerjakan skripsi dan menggambar. Seharian ia bolak balik ke ruang dosen dan perpustakaan. Malamnya mengerjakan komik.
Suasana dalam grup dan beranda Kawaiiku juga mulai memanas. Mendekati minggu-minggu terakhir kompetisi, banyak tulisan-tulisan promosi bertebaran. Beberapa menyikapi dengan santai dan santun. Yang lainnya saling menyikut. Tak heran karena hadiahnya begitu menggiurkan sehingga semua orang berlomba-lomba memberikan yang terbaik.
Alvin membacanya dengan perasaan kalut. Ia sendiri khawatir tak bisa selesai tepat waktu. Dua-duanya adalah keinginan Alvin. Ia tak rela jika harus melepas salah satunya.
Kekhawatiran lain pun mulai merasuki hatinya. Jika kompetisi ini selesai, apakah pertemanan dalam grup masih berlanjut? Apakah hubungannya dengan Chika juga akan selesai? Jika ia mulai mendekatinya terang-terangan, apakah Chika akan menerimanya? Hingga detik ini, ia belum membahas pertemuan berikutnya dengan Chika. Mengingat suasana yang tidak kondusif, ia pikir sebaiknya ditunda dulu.
Bagaimana pun ia berusaha keras, tetap ada batasannya. Tubuhnya mulai letih, dan pikirannya jenuh. Ia sangat butuh istirahat. Mungkin memejamkan mata beberapa menit tidak akan jadi masalah.
Alvin menelungkupkan kepalanya di atas meja perpustakaan di antara tumpukan buku-bukunya. Ia merasa tubuhnya ringan seolah beban berat di pundaknya terangkat. Pikirannya pun jadi lebih jernih. Tanpa sadar ia sudah terlelap. Seseorang di sampingnya tersenyum melihatnya.
Sudah 30 menit berlalu dan Alvin masih dalam posisi yang sama. Tiba-tiba ada getaran dari ponsel yang ia letakkan di meja. Gadis di sampingnya menoleh. Ia melihat ponsel yang terus bergetar di sekitar kepala Alvin menimbulkan bunyi “bzzz” berkali-kali.
Ia menunggu Alvin terbangun karena getaran itu, tapi sepertinya lelaki itu sudah jatuh ke alam mimpi. Sejenak wajahnya terlihat ragu, tapi akhirnya ia mengambil ponsel itu.
Ada sebuah nama tertera di layar ponsel sedang memanggil. Chika. Dengan gambar hati di belakangnya. “Siapa? Pacarnya?” Ia bertanya-tanya dalam hati. “Apa ada yang namanya Chika di kampus ini?”
Gadis itu bimbang. Benda itu terus bergetar untuk ke sekian kali sebelum akhirnya berhenti dan meninggalkan tulisan 1 panggilan tak terjawab. Terlihat olehnya beberapa pesan masuk di kotak pemberitahuan yang muncul.
Ia melihat lelaki di sampingnya. Bahunya yang naik turun dengan teratur menandakan ia sedang dalam posisi tidur nyenyak. Dengan sedikit gemetar tangannya membuka ponsel Alvin.
“Ternyata password-nya masih sama.” Bibirnya tersenyum.
Obrolan di grup yang dibacanya begitu ramai. Dia baru mengetahui jika Alvin mengikuti kompetisi webtoon, dan juga tentang gadis bernama Chika itu. Jika hal sepenting ini, Alvin tidak memberitahunya, mungkin memang benar, bahwa ia sudah tidak ada artinya bagi lelaki ini.
Tiba-tiba saja ia merasa sangat marah dan kecewa. Jika gadis ini tidak ada, Alvin tidak akan menolaknya seperti sekarang. Tangannya dengan cepat menyalin nomor Chika sebelum ia membangunkan Alvin.
Tepukan pelan di bahu membuat Alvin sedikit menggeliat. Samar-samar ia mendengar panggilan di sampingnya, “Vin! Bangun, Vin! Mau tidur sampai kapan?”
Kali ini guncangan yang dirasakan lebih keras. Alvin terbangun dan menoleh. “Oh, aku ketiduran,” katanya sambil mengucek matanya yang memerah karena kantuk. “Udah jam berapa, May?”
“Jam 3 sore,” jawab Maya. “Udah 30 menit kamu tidur. Capek banget ya?” Tangannya mengelus-elus bahu Alvin.
Alvin menepis tangan Maya pelan. “Makasih udah bangunin aku. Aku benar-benar capek banget.”
Tampak gurat kekecewaan pada wajah Maya. Saat ini ia berada di samping lelaki yang dicintainya, tapi ia merasa jauh. Sepertinya hati Alvin sudah di luar jangkauannya.
“Kok kamu nggak bilang kalau ikut kompetisi webtoon?” tanya Maya.
Alvin menoleh heran. “Kamu tahu dari mana?”
Maya menunjuk ponsel Alvin. “Tadi ada telepon masuk dan ratusan pesan tak terbaca di grup Random. Aku baca semuanya dan-.”
Sebelum Maya menyelesaikan kalimatnya, Alvin menyambar ponselnya dan mengecek isi daftar panggilan. Chika menelepon dan Maya melihatnya. Tiba-tiba perasaannya tidak enak.
“Kamu angkat teleponnya?” Alvin bertanya dengan nada tegas. Matanya menatap Maya penuh selidik.
“Nggak, aku cuma....” Maya menjawab gugup. Tatapan tajam Alvin membuatnya sedikit takut.