“Kak Chika tadi telepon aku ya?” tanya Alvin begitu terdengar suara merdu di seberang menjawab “halo”. Ia sudah berada di kamarnya sepulang dari perpustakaan tadi.
“Ah, iya! Tapi kayaknya kamu lagi sibuk jadi nggak angkat teleponku,” jawab Chika. Suaranya menenangkan hati Alvin yang sedang kalut.
“Iya, maaf, tadi aku lagi ngerjain skripsiku,” kata Alvin. Ia merebahkan tubuh di kasurnya sambil memejamkan mata untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya.
“Ngapain minta maaf? Kamu nggak salah kok,” balas Chika.
“Tumben Kakak telepon. Ada apa?” Alvin tak dapat menyembunyikan rasa senangnya bisa bercakap-cakap dengan Chika lagi. Ajaibnya rasa sakit di kepalanya sedikit berkurang begitu mendengar suara gadis pujaannya.
“Oh, itu....” Chika menjelaskan alasannya menelepon.
Ternyata masalahnya dari dalam grup. Suasananya semakin tidak menentu. Dan Chika mempunyai ide untuk rehat sejenak dari panasnya kompetisi. Dia menyarankan untuk saling bertemu secara langsung dan saling mengenal di dunia nyata.
Sudah pasti tidak semua anggota bisa mengikuti pertemuan ini, mengingat mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Hanya yang sekota atau yang memungkinkan saja yang bisa datang.
Alvin merasa ini ide yang bagus setelah mengetahui pembicaraan grup yang Chika katakan. Ia memang tidak membuka grup sama sekali sejak tadi, jadi dia berpikir ada baiknya bila saling mengenal di dunia nyata.
Ekspresi dan emosi yang tertuang dalam chatting sering kali tidak sesuai dengan makna sesungguhnya. Kata dan kalimat tak bersuara bisa menimbulkan persepsi berbeda pada orang lain yang membacanya. Dengan bertemu dan menyegarkan pikiran sejenak mungkin bisa membuat mereka saling terbuka dan mengenal satu sama lain.
Alvin mengusulkan ide itu pada admin grup yang langsung menyetujuinya. Maka disepakati mereka akan bertemu di salah satu mall di tengah kota. Ada sebuah tempat yang cukup nyaman untuk makan dan mengobrol.
“Kak Chika nanti aku jemput ya?” Alvin mengirim pesan pribadi pada Chika.
Tak lama Chika membalas. “Hah? Nggak usah! Kamu jadi putar-putar nantinya.”
Alvin mendesah. “Yah! Ditolak lagi,” katanya kecewa. “Susah sekali sih deketin dia!” Ia menggaruk kepala seperti kebiasaannya.
Penolakan yang diberikan Chika membuat Alvin semakin gigih ingin mendekatinya. Ia merasa sedang berjuang untuk sesuatu yang sangat berharga. Di satu sisi Alvin yakin bahwa Chika memiliki perasaan yang sama dengannya karena Chika selalu menanggapi lelucon dan obrolannya di grup. Alvin menanggapnya sebagai isyarat.
Namun rupanya Alvin harus berusaha lebih keras lagi karena penolakan Chika berkali-kali. Alvin melihat Chika adalah gadis yang mandiri. Sifat keras kepalanya dan tidak mau merepotkan orang lain menjadi daya tarik sendiri bagi Alvin.
Alvin menyadari perbedaan status mereka. Alvin masih kuliah, sedangkan Chika sudah bekerja. Artinya ada perbedaan usia di antara mereka. Alvin memperkirakan mereka hanya berbeda satu atau dua tahun saja dan itu tidak masalah baginya. Atau malahan memang Chika tidak kuliah melainkan langsung bekerja. Itu yang membuatnya terlihat dewasa dari usianya.
Alvin belum sempat menanyakan hal itu pada Chika. Mungkin di lain waktu ia akan menanyakannya. Sekarang ia harus segera berangkat ke tempat pertemuan.
“Lo jadi nyusul sama Lena?” Alvin bertanya pada Leo yang berpakaian rapi dan bersiap pergi.
“Yep! Gue jemput Lena dulu baru ke sana,” jawab Leo.
“Oke sesuai rencana ya, karena ini suasananya nggak enak, lo lihat situasi dulu,” jelas Alvin.
Seperti pembicaraan mereka sebelumnya, Leo dan Lena ingin bertemu Chika yang sudah membuat Alvin jadi bucin setengah mati. Seharusnya mereka bisa bertemu dengan tenang dan nyaman. Namun kenyataan berkata lain karena suasana kompetisi yang kurang sehat. Jadi untuk sementara Leo dan Lena hanya mengamati dari jauh sampai saat yang tepat untuk bergabung.
“Yuk berangkat!” ajak Alvin.
Mereka lalu mengendarai motor masing-masing dan berpisah di perempatan jalan. Leo berbelok ke kiri menjemput Lena, Alvin berbelok ke kanan menuju tengah kota.