Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Perjalanan itu terasa amat panjang saat keduanya tak bicara apa-apa. Alvin merasa tidak enak pada Chika dan tidak berani mengatakan apapun.
“Apa dia marah?” batin Alvin sedih. Ia mengutuki dirinya yang ceroboh. Seharusnya ia yang berada di sisi luar jalan saat itu. Matanya melihat GPS yang memandunya ke alamat Chika. Benda itu menunjukkan tanda panah yang menunjukkan bahwa mereka hampir sampai di tujuan.
Ia juga merasakan Chika duduk di boncengan dengan kaku. Gadis itu tidak berpegangan pada tubuhnya seperti yang biasa dilakukan bila seseorang berboncengan.
“Itu yang pagar putih.” Terdengar suara Chika setelah sekian lama membisu. Mereka sudah memasuki gerbang perumahan dan memasuki suatu gang.
Alvin berhenti di tempat yang ditunjuk Chika. Rumah minimalis berpagar putih itu tampak gelap. Cahaya remang yang meneranginya berasal dari rumah yang mengapitnya.
“Oh, aku lupa nggak nyalain lampu sebelum berangkat tadi,” kata Chika melihat kondisi rumahnya. Ia lalu turun dari motor dan menyerahkan helmnya pada Alvin.
“Kakak tinggal sendiri?” tanya Alvin mengamati rumah yang tampak kosong itu. Ia tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu.
“Iya, aku ngontrak di sini,” jawab Chika.
Pemuda itu menerima helm dari Chika dan meletakkannya di jok.
“Nah, sesuai janji kamu tadi, sekarang kamu langsung pulang,” kata gadis itu mengingatkan. Ia melihat Alvin yang sepertinya sengaja berlama-lama di sini.
Alvin tertawa. “Kakak ingat aja sih! Iya, iya, aku pulang sekarang.”
“Laki-laki itu harus bisa pegang janjinya,” tegas Chika. Kalimat itu membuat Alvin sedikit bangga, tanpa sadar ia membusungkan dadanya.
“Lain kali aku boleh ke sini lagi nggak? Kayaknya aku belum pernah menjelajah daerah ini,” tanya Alvin.
“Mungkin Kakak bisa menunjukkan tempat yang menarik di daerah sini,” lanjutnya. Ia memang jarang bepergian ke daerah yang terlihat asing baginya.
“Kita lihat aja nanti,” jawab Chika. “Sekarang kamu pulang.”
Gadis itu memasuki halaman rumahnya setelah memastikan laki-laki itu benar-benar pergi dan menghilang di belokan. Ia segera menyalakan lampu begitu ia sudah masuk di dalam rumah.
“Ternyata seperti itu ya,” gumamnya pelan. Ia segera masuk ke kamar dan mengganti bajunya. Setelah itu ia merebahkan tubuh di kasurnya yang nyaman.
Tangannya mengambil ponsel dan membuka semua pesan yang belum terbaca. Ada senyum yang sesekali menghiasi wajahnya letih.
“Grup ini emang nggak ada matinya ya,” katanya membaca semua percakapan grup itu. Setelah itu ia membaca pesan dari Karin.
Karin menanyakan tentang pertemuan tadi dan Alvin. Gadis itu mendesah pelan. Berbagai pikiran memenuhi kepalanya. Dan ada perasaan lain berkecamuk di dadanya. Apakah dia boleh merasa seperti ini? Tidak seharusnya ini terjadi.
Ia membalas pesan Karin dengan kalimat, “Kurasa kamu benar.”
Ketika Karin mengirim pesan balasan “Lalu Kakak bagaimana?”, ia tak bisa menjawabnya. Matanya terpejam. Kejadian-kejadian tadi berkeliaran di benaknya.