Berkat istirahat sebentar dan sarapan tadi, Alvin merasa lebih baik dari sebelumnya. Ia melaju ke rumah Maya. Ia ingin memastikan apakah akun Amore123 adalah dirinya. Jika memang benar, rasanya kesabaran Alvin sudah mencapai batasnya.
Ia memacu motornya di jalanan yang masih sepi. Alvin bersyukur bahwa ini adalah hari Minggu sehingga tidak dikejar oleh hal lainnya. Tak peduli akan butuh waktu seharian meyakinkan Maya, ia harus melakukannya. Ia benar-benar ingin menghentikan semua ini.
Lelaki bertampang kusut itu berhenti sejenak di sebuah SPBU yang dilewatinya. Setelah mengisi bahan bakar kendaraannya, ia menuju ke toilet.
“Astaga! Tampangku kacau banget!” rutuknya di depan cermin wastafel toilet. Ia melihat rambutnya kusut dan berantakan. Matanya sedikit merah dan ada semburat kelabu di bawah kelopak matanya.
“Tampang kayak gini malah nekat ke rumahnya! B*go banget sih jadi orang!” umpatnya kesal. Ia tak memikirkan apapun saat ke rumah Chika tadi. Ia sangat mengkhawatirkannya sehingga tanpa pikir panjang ia menuju ke sana.
Alvin membasuh wajahnya dengan air dari kran wastafel. Ia juga membasahi kepalanya untuk merapikan rambut yang mencuat tak tentu arah. Seketika ia merasa segar. Pikirannya pun lebih jernih.
“Tapi ada untungnya sih, aku jadi bisa makan masakannya,” kata Alvin. Senyum tersungging di bibirnya. Ia melihat bayangannya di cermin. “Udah mendingan kayaknya,” lanjutnya melihat penampilannya.
Alvin mengambil ponselnya hendak menelepon. Ia menemukan nama yang dicarinya, lalu berpikir. Ia menimbang-nimbang apakah yang dilakukannya ini benar atau tidak. Dia tidak bisa asal menuduh seperti itu. Mungkin bukan dia. Mungkin ada orang lain yang iseng.
Hatinya mengatakan itu benar. Di sisi lain ia masih mencoba untuk berpikir positif tentang Maya. Bukankah gadis itu sudah berubah? Apakah semua peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu masih belum cukup membuatnya jera? Perbuatan apa lagi yang akan dilakukannya? Ia merasa tak sanggup lagi bila harus berurusan dengan gadis itu.
Setelah peperangan dalam dirinya, Alvin memutuskan untuk langsung saja ke rumah gadis itu.
Rumah besar itu tampak sepi seperti biasanya. Setiap kali Alvin ke sini, rumah itu tampak dingin. Kedua orang tua Maya yang sibuk membuat gadis itu selalu sendirian di rumah. Bahkan di hari Minggu sekalipun. Itu sebabnya ia mencari kesenangan dan kebebasan di luar.
Alvin menekan tombol bel di samping pagar. Tak lama seseorang tergopoh-gopoh membukakan pintunya. Wajah renta itu tampak kaget melihat kedatangan Alvin.
“Nak Alvin?” tanyanya dengan suara serak. “Lama nggak ke sini. Silakan masuk,” katanya lagi sambil membukakan pagar.
Orang itu adalah Bik Sumi, asisten rumah tangga keluarga Maya. Ia sudah puluhan tahun bekerja di sini sejak sebelum Maya lahir. Saat masih bersama Maya, Alvin pernah ke rumah ini beberapa kali, Bik Sumi selalu menyambutnya dengan ramah.
Alvin tersenyum. “Terima kasih, Bik,” balas Alvin sopan. Setelah membukakan pintu rumah, Bik Sumi masuk ke dalam menyelesaikan tugasnya yang lain.
Begitu Alvin memasuki ruangan tamu yang besar itu, seseorang menghambur ke pelukannya.
“Alviin!! Aku senang kamu datang!” teriaknya girang. Tangannya memeluk tubuh lelaki itu dengan erat.
“Kebetulan kamu datang, aku kangeeen!” Suaranya terdengar bahagia melihat lelaki impiannya ada di sini.