Dering telepon membuat gadis itu menoleh dari apa yang sedang dikerjakannya di laptop. Tampak sebuah kertas kerja dengan beberapa panel gambar terpampang di layarnya.
Ia mengambil ponsel itu dan tersenyum melihat nama yang tertera. Ia lalu berdiri meninggalkan mejanya dan menjawab telepon itu sambil meregangkan tubuhnya yang pegal.
“Halo!” jawabnya ceria ketika mendengar suara di seberang sana. Sekian detik kemudian wajahnya berubah sendu. Hanya kata-kata pendek yang keluar dari mulutnya mendengar perkataan orang itu.
“Iya. Udah. Iya. Aku nggak apa-apa. Iya. Oke.” Percakapan telepon itu selesai.
Helaan napas keluar dari mulutnya. Kakinya mondar mandir di dekat meja kerjanya. Ia sedang bingung dan galau. Beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini membuatnya pusing. Hatinya juga bimbang. Apakah secepat itu hatinya berubah?
Hati itu telah bertahun-tahun bahkan sejak dua puluhan tahun yang lalu hanya terpaut pada satu orang saja. Apakah hanya dalam hitungan bulan bisa berpindah begitu saja? Sia-sia saja bila itu yang terjadi. Apa gunanya selama ini hati itu terisi dengan orang yang sama tanpa mengijinkan orang lain masuk? Sudah berapa banyak hati yang ia patahkan karena orang ini?
Apakah ia akan membiarkan hal itu terjadi? Menyia-nyiakan semua yang telah ia lakukan di masa lalu. Membuang-buang energi yang selama ini ia keluarkan untuk mendapatkannya. Lalu dengan segampang itu menggantinya dengan yang lain.
“Nggak bisa! Ini jelas nggak benar! Nggak boleh kayak gini! Laki-laki itu udah ada dalam genggamanmu. Dia udah mencintaimu. Bodoh kalau kau melepasnya! Kamu ingat kan gimana kerasnya usahamu mendapat perhatiannya? Masa sekarang mau dilepas gitu aja? Apa cintamu yang mendalam itu udah hilang?”
“Hah! Dia tulus mencintaimu atau terpaksa? Mungkin dia capek dikejar-kejar terus. Atau mungkin dia cuma kasihan sama kamu? Apa buktinya dia mencintaimu? Bukannya sekarang ini dia ninggalin kamu? Dia bahkan nggak nyusul kamu ke sini. Paling nggak sebulan sekali. Harga tiket pesawat nggak semahal harga dirimu yang terus ngejar-ngejar dia!”
Peperangan itu terjadi dalam kepalanya. Dan itu membuatnya semakin sakit.
“Dia tulus. Dia benar-benar mencintaimu. Keadaan yang bikin dia nggak bisa sering ketemu kamu. Kamu tahu sendiri dia sangat sibuk. Apalagi setelah kematian papanya. Dia yang harus menggantikannya. Apa kamu nggak mikirin perasaannya?”
“Alasan aja! Dia sendiri apa mikirin perasaanmu yang bertahun-tahun ditolaknya? Dan sekarang katanya dia mencintaimu tapi malah memberikan syarat aneh begitu. Kenapa kamu mikirin yang jauh, kalau ada yang dekat? Kamu sendiri sebenarnya suka kan ada yang mendekatimu. Ada yang kasih perhatian. Ada yang peduli sama kamu. Dia juga nggak kalah ganteng kok.”
Suara-suara itu terus berdebat dalam kepalanya.
“Astaga! Apa yang kamu pikirin? Kamu nggak mikirin selisih umurnya? Mau dibilang apa nanti sama orang lain? Nggak usah munafik! Nggak usah sok kuat! Kamu sendiri nggak yakin bisa ngadepin omongan orang-orang kan. Komentar pedas waktu itu pun kamu udah baper. Kamu cuma pura-pura kuat di depan pemuda itu.”
“Yang jalanin kamu sendiri, bukan orang-orang. Tahu apa mereka tentang perasaan dan kondisimu selama ini? Mereka cuma liat luarnya aja. Kalau kamu lebih bahagia dengan pemuda itu, kenapa nggak? Kamu cuma perlu buktiin ke mereka kalau itu nggak masalah.”
Ia memegang kepalanya dan memijat-mijatnya. Berharap suara-suara itu berhenti berteriak di kepalanya.