Dear Random

Lirin Kartini
Chapter #21

BAB 21

Kak, aku besok boleh ke rumahmu?” Begitu bunyi pesan yang masuk ke ponselnya. Gadis itu membacanya. Ia tak segera membalas pesan itu.

“Dia lagi,” gumamnya pelan. “Apa yang harus kulakukan?”

Ia teringat syarat yang diberikan padanya beberapa waktu yang lalu di bandara. Laki-laki dingin itu berbisik di telinganya. “Apapun yang kau lakukan selama aku nggak ada, aku pastikan kau akan kembali padaku. Kau bebas melakukan apapun selama itu wajar.”

Syarat yang aneh untuk seorang laki-laki yang mengatakan ia mencintai gadis itu. Jika ia memang mencintainya, bukankah ia harus mengatakan sebaliknya? Mengapa dia begitu yakin bahwa perasaan gadis itu tidak akan berubah?

Dua puluh lima tahun hati itu selalu mengarah padanya. Tak pernah berubah sedikitpun walaupun ditolak berkali-kali. Dan laki-laki itu baru membalasnya enam bulan yang lalu. Entah karena terpaksa atau dia memang benar-benar mencintainya.

Enam bulan lalu, saat ia kembali ke Jakarta, laki-laki itu menyatakan isi hatinya padanya. Wajah tampannya yang sedingin es, tiba-tiba berubah menjadi sendu saat mengatakannya. Tentu saja ia sedang bersedih karena kematian papanya seminggu sebelumnya.

Gadis itu tak mampu berkata apa-apa. Ia memang senang mendengarnya. Akhirnya perasaannya terbalas. Namun ekspresi yang diberikan laki-laki itu membuatnya bingung.

“Apa kau tahu, Agatha, kalau aku mencintaimu?” Kalimat yang seharusnya diucapkan dengan penuh perasaan dan romantis, menjadi kaku ketika keluar dari bibirnya. Posisi mereka pun hanya duduk di kursi yang terhalang sebuah meja kecil. 

“Udah lama sekali, tapi aku nggak berani bilang,” katanya lagi dengan nada yang lebih kaku dari sebelumnya. 

“Kau boleh marah padaku. Kau boleh memukulku karena aku baru bilang sekarang.” Dia menatap wajah gadis itu. Sungguh situasi yang aneh. Wajah dingin tanpa ekspresi mengatakan kalimat romantis dengan nada datar nan kaku.

“Kenapa baru sekarang kamu-.” Kalimat gadis itu terpotong begitu mendengar namanya disebut.

“Agatha, apa kamu sudah siap?” tanya seorang wanita paruh baya yang keluar dari balik pintu. Kecantikannya masih terpancar dengan jelas di usianya yang sudah kepala lima. Ia tersenyum melihat gadis itu sedang duduk berdua dengan anak semata wayangnya.

“Oh!” Wanita itu tak jadi melanjutkan pertanyaannya setelah melihat koper di sisi kursi Agatha. “Kamu sudah siap rupanya,” katanya kemudian.

Sekarang ia berganti memandang anaknya. “Bryan, kalau kamu nggak segera berangkat sekarang, Agatha bisa ketinggalan pesawat,” tegurnya.

Bryan berdiri. Agatha mengikutinya. “Agatha pulang dulu, Tante,” pamit Agatha lalu mencium kedua pipi wanita tegar itu. Wanita itu baru saja kehilangan belahan jiwanya seminggu yang lalu karena sakit.

“Sehat-sehat ya, Tante,” ucap Agatha tulus.

Wanita itu tersenyum. “Kamu juga jaga diri baik-baik di sana. Kalau ada perlu apa-apa, telepon saja Bryan atau Tante.”

Agatha memeluknya dengan hangat. Bryan memandang kedua orang yang dicintainya itu dengan gusar.

“Mama yang malah membuat Agatha terlambat!” tegurnya.

“Hahaha, iya, maaf! Sekarang kalian berangkat aja.” Mama Bryan mengantar mereka ke mobil. Bryan sudah memasukkan koper ke bagasi.

Lihat selengkapnya