Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Agatha sedang berbaring di kamar sambil membuka ponselnya.
“Akhirnya dia tahu juga,” katanya. “Udah nggak bisa senang-senang lagi deh. Padahal kencan sama dia asyik juga.”
Ia mengubah posisi tubuhnya. “Sekarang grup sepi ya.” Agatha menghela napas panjang.
Grup Random yang selalu menghiburnya itu sekarang tidak seramai dulu. Kawaiiku pun hanya menjadi media sosial pada umumnya. Dirinya masih membaca karya-karya yang ada di sana saat luang. Bekerja kantoran dan menggambar belum cukup untuk mengusir kesepiannya.
Agatha mengakui, ia menyukai Alvin yang memberi warna baru dalam kehidupannya. Namun hati kecilnya tidak bisa berbohong. Cinta yang ia miliki hanya untuk seseorang dan tak akan tergantikan oleh siapapun.
Betapapun dinginnya sikap Bryan, dia mencintainya sepenuh hati. Dia telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Bryan laki-laki yang baik, hanya saja ia kesulitan untuk mengungkapkan dan menunjukkan emosinya.
“Bryan, kamu tahu aku sangat mencintaimu,” bisiknya pelan. “Syarat itu, membuat hatiku sakit.” Sebutir air mata mengalir di pipinya. Lama kelamaan gadis itu terlelap dengan ponsel yang masih ia pegang. Lampu kamarnya pun masih menyala. Ia berharap bisa memimpikan Bryan malam ini.
Sekitar pukul 1 dini hari, Agatha terbangun. Ia mendengar suara-suara di depan rumahnya. Awalnya ia mengira itu kucing. Namun suara berisik itu lama-lama semakin mendekat. Ia duduk di kasur dan menajamkan telinganya.
“Siapa itu?” bisiknya. “Maling?” Tiba-tiba dirinya diliputi rasa takut. Apalagi dia seorang wanita dan tinggal sendirian. Bertahun-tahun tinggal di daerah ini, tak pernah ada kejadian kemalingan atau semacamnya. Malam ini berbeda. Ada yang berusaha memasuki rumahnya.
Ia panik mendengar pintu rumahnya terbuka dengan mudah. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. “Kok nggak ada yang bisa dibuat mukul sih?!” Ia berbisik panik.
Sekarang ia mendengar suara itu mendekati kamarnya yang sedikit terbuka memperlihatkan kegelapan di ruang depan. “Bodoh kamu, Agatha! Bisa-bisanya lupa kunci pintu!” rutuknya.
Seseorang di luar itu mengendap-endap tak ingin membangunkan pemilik rumah. Ia berjalan pelan dalam kegelapan. Ia melihat ada segaris cahaya dari pintu kamar Agatha yang tidak tertutup rapat.
Agatha sudah siap di balik pintu kamar dengan sebuah lampu meja tergenggam erat di kedua tangannya. Hanya itu yang ia temukan sebagai senjata. Lampu meja kan cukup keras. Paling tidak akan membuat orang itu pingsan dengan pukulan di kepalanya. Begitu yang ada dipikiran Agatha.
Gadis itu bersembunyi dengan badan gemetar dan berkeringat dingin. Ia sudah siap dengan rencana yang ia susun dalam kepanikan. Pukul lalu lari keluar.
Bunyi langkah itu berhenti di depan kamarnya. Suasana hening sejenak. Lalu daun pintu itu pelan-pelan terbuka. Sekelebat bayangan masuk dan…
BUGH!
Lampu meja itu mengenai sesuatu yang keras dan terdengar rintihan “Ouch!”. Namun pukulan itu tidak sampai membuatnya pingsan. Orang itu bisa segera menangkapnya lagi ketika ia berusaha kabur. Karena itu Agatha terus memukul ke segala arah pada sosok itu. Entah bagian apa saja yang ia pukul itu.
Setelah beberapa kali rintihan, terdengar suara dingin yang dikenalnya. “Agatha!”
Tangan Agatha tertahan di udara. Ketika sosok laki-laki yang membungkuk di depannya mendongak, Agatha refleks menjatuhkan lampu meja itu.
“Bryan!” jeritnya terkejut.
“Kenapa kau memukulku?” Laki-laki itu mengusap dahinya yang lecet terkena lampu tadi. Wajahnya tampak kesakitan. Satu tangannya yang lain memegangi bahunya. Rupanya pukulan Agatha mengenai dua bagian itu.
Agatha kembali diserang rasa panik. Kepanikan yang berbeda dengan sebelumnya. Ia tak menyangka Bryan ada di depannya sekarang ini. Padahal ia baru saja berharap akan menemuinya dalam mimpi.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Agatha bingung.
“Kau nggak baca pesanku?” Laki-laki itu balas bertanya.
Agatha segera mengambil ponselnya dan melihat pesan yang dikirim Bryan. Kekasihnya itu memang mengirim pesan padanya. Ia menggeleng-gelengkan kepala lalu tertawa sinis. “Kirimnya baru satu jam yang lalu. Aku udah tidur.”
“Maaf,” ucap Bryan lirih. “Tadi aku lupa.”
“Ah, lukamu!” Agatha buru-buru membawa Bryan duduk di kursi. “Coba kulihat!”
Agatha memeriksa dahi lelaki itu. Terlihat segaris merah di sana. “Cuma tergores aja,” ujarnya. Ia keluar untuk mengambil air lalu mengambil plester di laci mejanya.