Alvin terbangun dari tidurnya karena getaran ponsel di mejanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan menyadari ia masih duduk di kursinya sejak semalam. Hari sudah pagi. Rupanya ia ketiduran saat menggambar kemarin.
Setelah meregangkan tubuhnya, ia berdiri dan melihat ponselnya. Ada tiga panggilan tak terjawab dari Maya. “Mau ngapain lagi sih?” gerutunya kesal.
Tak cukup kenyataan yang ia terima kemarin, apa lagi yang harus ia dengar dari Maya. Kebenaran yang ia dengar menghantamnya dengan keras. Ia malu sekaligus kesal.
Alvin terbayang kembali saat-saat indahnya bersama Chika. Semua yang telah ia lakukan untuk menunjukkan rasa sayangnya, ternyata sia-sia. Gadis itu sangat pandai memainkan perannya. Apa semua perempuan seperti itu? Awalnya menerima, lalu kemudian menolak.
Ia mengutuki dirinya sendiri. Marah pada dirinya sendiri mengapa ia sebodoh itu. Mengapa ia tidak bertanya lebih awal. Ia tak menghiraukan garis batas yang dibuat Chika dari awal.
Ponselnya berbunyi lagi. Nama Maya masih terpampang di layar. Dengan berat hati, Alvin mengangkatnya.
“Halo?”
“Pagi, Vin!” sapa Maya dari seberang sana.
“Nggak usah basa basi,” jawab Alvin ketus. Ia sudah lelah dengan semua ini. Ia ingin mengakhirinya segera.
Maya tertawa. “Oke, aku langsung aja. Gimana kemarin?”
Alvin diam.
“Aku benar kan soal dia?”
Alvin tak menjawab, karena itu Maya melanjutkan ucapannya, “Terus kamu gimana? Masih mau lanjut? Bedanya jauh banget lho!”
“Bukan urusanmu!” Alvin menutup teleponnya.
Jujur, Alvin sangat bingung sekarang. Semalam ia terus memikirkannya, tapi tak menemukan jawabannya. Ia mencoba mengalihkannya dengan menggambar, ia malah ketiduran di mejanya.
Ia masih berharap bahwa Chika mempunyai rasa itu kepadanya meski sedikit sehingga ia punya alasan untuk bertahan. Jika memang seperti itu, ia akan mempertahankan bagaimanapun caranya. Bertahan berdua lebih baik daripada sendiri bukan?
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarnya diketuk dan terdengar suara Leo. “Vin, lo udah bangun? Nggak sarapan?”
Alvin tak menjawab. Kali ini ia ingin sendiri. Kali ini ia tak ingin menceritakannya pada Leo. Ia harus menata serpihan hatinya yang patah sebelum mengatakannya pada orang lain.
Ia duduk di lantai dan membuka ponselnya. Ia melihat foto saat mereka bertemu dengan anggota grup. Dipandangnya wajah Chika dalam foto itu. Wajah cantik itu tersenyum manis dan terlihat anggun. Tak sekalipun Alvin menyadari jika usia mereka terpaut jauh. Mungkin itu sebabnya Chika bisa akrab sekali dengan Domi karena usia mereka hampir sama.
Lalu matanya beralih pada Karin di sebelah Chika. Teringat bagaimana Karin selalu menatapnya dengan penuh selidik, juga ucapannya waktu itu. Ternyata Karin sudah tahu sejak awal. Mungkin yang lain juga sudah tahu. Mungkin hanya dia sendiri yang terlalu lambat menyadarinya.
Seharian ini Alvin berdiam diri di kamar. Ia tak berminat melakukan apapun. Tubuhnya seolah menolak untuk bergerak. Ia hanya duduk diam di lantai kamarnya yang dingin. Semua kenangan indah itu masih bermain-main menggodanya. Wajahnya, senyumannya, harum rambutnya, semua masih segar dalam ingatannya.