“Ah, kenapa Karin ngirim fotonya ke grup sih?” Gerutuan itu keluar dari seorang gadis yang sedang duduk di depan cermin. Ia masih mengenakan gaun dan riasan untuk acara pertunangannya tadi. Hanya rambutnya saja sudah tergerai seperti biasanya.
Dia merasa senang dengan hasil kompetisi itu. Terlebih lagi dengan apa yang terjadi hari ini. Dia bertunangan dengan kekasihnya, Bryan. Wanita mana yang tidak senang bila akhirnya cintanya terbalas lalu bertunangan? Tak lama lagi pun mereka akan menikah. Kebahagiaan itu memenuhi seluruh hatinya.
Semuanya terjadi tiba-tiba. Waktu Bryan datang ke Surabaya, tujuannya untuk menyampaikan hal penting ini.
“Agatha, kita harus kembali ke Jakarta besok.” Ucapan Bryan waktu itu membuatnya kaget. Belum hilang keterkejutannya, ia mendengar hal yang lebih mengejutkan. Rasanya ia tak bisa mempercayai telinganya, saat laki-laki itu mengatakannya.
“Dalam surat wasiatnya, papa minta kita menikah. Sebelum itu kita harus kembali untuk mengurus semuanya. Karena ini terlalu mendadak, kita tunangan dulu.”
Agatha tidak bisa berkata apa-apa saking terkejutnya. Hanya genangan air mata yang mampu melukiskan perasaannya saat itu. Air mata kebahagiaan.
Saat ini Agatha sudah resmi menjadi tunangan Bryan. Acara pertunangan itu berlangsung siang tadi secara sederhana dan berakhir sore ini. Dia baru membuka ponselnya dan melihat percakapan grup.
Hatinya sedikit gelisah karena pemuda itu telah membacanya. Ia merasa bersalah sekaligus kasihan padanya.
“Salahmu sendiri, Agatha! Aku udah kasih tahu kamu sebelumnya. Harusnya kamu menjauh dari awal!”
Agatha mendesah pelan. Ia mengambil botol pembersih dari meja riasnya dan hendak membersihkan wajahnya ketika pintu kamarnya di ketuk.
“Aku boleh masuk?” tanya Bryan dari balik pintu.
“Iya,” jawab Agatha. Ia meletakkan kembali botol itu lalu menyambut Bryan yang sudah memasuki kamarnya.
“Kau belum ganti baju?” tanya Bryan. Ia juga masih mengenakan pakaian yang sama untuk acara tadi. Kancing jasnya terbuka memperlihatkan kemeja putih tanpa dasi.
“Masih mau hapus make up dulu.” Agatha kembali ke meja riasnya dan mulai membersihkan wajahnya. Seperti biasa, Bryan mengamatinya dalam diam. Jika dulu wajah itu melihatnya dengan pandangan tak suka, sekarang ia bisa melihat cinta itu dari sorot matanya.
“Jadi inget dulu ya,” kata Agatha menatap bayangan Bryan dari cermin. Bryan sedang duduk di tepi kasur.
“Kamu masih inget kan, aku selalu main ke rumahmu dan mengacak-acak kamarmu? Kamu cuma diam aja nggak ngomel atau ngelarang. Meski begitu, aku tahu kamu merhatiin aku terus. Sama kayak sekarang ini.”
Bryan tersipu. Tentu saja dia ingat. Ia memang senang sekali memperhatikan gadis itu dalam diam. Awalnya dia melihatnya dengan risih. Lama-lama ia melihat sesuatu yang menarik setiap Agatha melakukan apapun di kamarnya atau di tempat lain. Jadi ia membiarkannya tetap seperti itu.
“Maaf ya,” ucap Bryan pelan.
Agatha sudah selesai membersihkan wajahnya. Ia beranjak mendekati Bryan dan duduk di sampingnya.
“Aku tahu semua ini mendadak. Kau mungkin nggak siap atau….” Ragu-ragu Bryan melanjutkan kalimatnya.
Agatha menggeleng lalu tersenyum. “Ini memang mendadak. Tapi aku senang!”
Wajah lelaki itu tampak lega. Ini juga kesalahannya mengapa ia tak mengatakannya dari dulu. Egonya yang tinggi mengalahkan perasaannya.
“Oh, ya, kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa baru sekarang, ah, yang kapan hari itu, kamu baru bilang?” tanya Agatha penasaran.