Rakha baru saja terbangun pasca kecelakaan yang dialaminya tadi malam.
Bertempat di rumah sakit yang sama dengan tempat Siti dirawat, Rakha mendapat penanganan medis meski luka-luka yang dideritanya tidak berat.
Dia hanya mendapat beberapa luka jahitan di kepala dan siku. Selebihnya tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Akhirnya kamu siuman juga, Kha..." sambut sebuah suara yang jelas Rakha kenal, suara Wisnu sang Kakak ipar.
Rakha mendapati Wisnu berdiri di sisi brankar rumah sakit yang ditempati Rakha di ruang UGD. Wajah lelaki itu tampak kusut.
"Saya di mana Mas? Apa yang terjadi?" ucap Rakha dengan suara serak. Rasa nyeri di kepalanya membuat Rakha agak kesulitan mengingat apa yang telah terjadi.
"Kamu di rumah sakit sekarang. Semalam kamu kecelakaan. Ada mobil box hitam yang menabrakmu," jawab Wisnu apa adanya.
Rakha mengerutkan kening. Otaknya mencoba mencerna ulang kalimat Wisnu.
Kecelakaan...
Mobil box hitam...
Astagfirullah al-adzim...
Walau belum sepenuhnya mengingat dengan baik, entah kenapa, Rakha merasa apa yang dikatakan Wisnu itu tidak benar.
"Tadi polisi sudah menjelaskan semuanya pada Mas dari bukti di TKP dan keterangan saksi warga sekitar. Ada sebuah mobil box hitam yang dikendarai oleh seorang laki-laki tua bernama Bapak Ahmad. Polisi menduga, Bapak Ahmad kehilangan keseimbangan saat mengemudi sehingga menyebabkan mobilnya tergelincir dikarenakan dia mengidap penyakit berat. Bapak Ahmad menderita penyakit TBC, dia meninggal di tempat kejadian setelah mobil yang dia kendarai menabrakmu dan seorang wanita bernama Rania di halte dekat Rumah sakit," jelas Wisnu panjang lebar.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun..." gumam Rakha pelan. Takdir Allah memang tidak ada yang bisa menebak. Nyatanya, malam tadi adalah detik-detik waktu kehidupan Bapak Ahmad berakhir di dunia. Dan tentunya, malam tadi malaikat maut sudah berada begitu dekat dengan Bapak Ahmad maupun Rakha sendiri.
Pelupuk mata lelaki berumur 27 tahun itu pun menghangat. Menjadi sebuah pelajaran berharga bagi Rakha bahwa sudah sepatutnya manusia itu selalu mengingat akan kematian. Karena maut tak mampu ditebak kapan datangnya. Bisa saja hari ini kita masih bisa tertawa bersama kawan sejawat, membicarakan lelucon konyol bersama, tapi siapa yang tahu jika hari esok, justru diri kita sudah terbujur kaku di liang lahat.
Bisa saja pagi ini kita masih bisa menikmati senyuman keluarga kita sebelum berangkat mencari nafkah. Mencium kening istri dan meneriakkan kata cinta, tapi siapa yang tahu jika satu jam setelahnya kita mendapat kabar bahwa istri yang pagi tadi masih kita rasakan kehangatan pelukannya dan manis senyumannya, kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Wallahu, maut, rejeki dan jodoh semua adalah rahasia mutlak sang maha pencipta. Manusia hanya bisa berusaha untuk tidak lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah yang taat. Hingga pada saatnya tiba nanti, kita memiliki cukup bekal untuk menghadap-Nya.
"Ya sudah, Mas mau menyelesaikan administrasimu dulu. Kata dokter luka yang kamu derita tidak serius, kamu sudah diperbolehkan pulang begitu siuman,"
"Mas," panggil Rakha saat Wisnu hendak pergi. Perlahan, Rakha mulai mengingat kronologi kejadian kecelakaan yang dialaminya malam tadi.
Tubuh Wisnu pun berbalik dengan cepat. "Ya, ada apa?"
Rakha menatap Wisnu dengan penuh keraguan. Semua kronologi kejadian yang dikatakan Wisnu jelas tidak benar. Dan Rakha bukan seorang manusia culas yang akan menyembunyikan kebenaran begitu saja. Setidaknya, dia masih memiliki tanggung jawab agar pihak kepolisian tidak menimpakan segala kesalahan pada Pak Ahmad.
"Sebenarnya, malam tadi, yang mengendarai mobil box hitam itu bukan Pak Ahmad, Mas, ta-tapi... Saya Mas..." ucap Rakha terbata.
Wajah Wisnu yang tadinya mulai tenang terlihat panik kembali. Lelaki berjanggut tipis itu sangat terkejut mendengar pengakuan Rakha.
Wisnu langsung celingukan mengamati keadaan sekitar, memastikan tak ada polisi atau siapapun yang mendengar pengakuan konyol Rakha. Ditariknya gorden pembatas brankar di ruang UGD tersebut untuk melindungi percakapan mereka dari pihak luar.
"Apa yang kamu katakan Rakha? Jangan bercanda!" bentak Wisnu setengah berbisik. Matanya melotot menatap garang ke arah Rakha.
"Sungguh, saya tidak sedang bercanda, Mas. Saya serius,"
Hingga akhirnya, Rakha pun menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya dia alami. Juga tentang sebuah mobil sedan lain yang lebih dulu menghantam mobil box milik Pak Ahmad dari arah berlawanan hingga dirinya kehilangan kendali akibat jalanan yang licin dan pedal rem yang bermasalah.
"Nggak ada yang tahu menahu tentang mobil sedan itu di TKP, semua kesalahan merujuk pada Pak Ahmad sebagai pengendara mobil box itu, Kha! Udah deh, kamu nggak usah ngada-ngada! Nggak usah buat masalah ini jadi tambah runyam!" bantah Wisnu setengah kesal. Dia benar-benar tak menyangka jika kenyataannya justru adik iparnya sendirilah yang seharusnya menjadi tersangka dalam hal ini.
"Tapi saya tidak mungkin diam saja, Pak Ahmad sama sekali tidak bersalah dalam hal ini, Mas..."
"Ssssttt... Jangan keras-keras bicaranya! Polisi masih ada diluar!" Wisnu buru-buru mengunci mulut Rakha dengan tangannya membuat Rakha bungkam seketika.
Wisnu menarik kembali tangannya dari wajah Rakha. Dihempasnya kuat-kuat seluruh karbondioksida yang tiba-tiba membuat dadanya sesak melalui mulut. Dia berdiri dengan berkacak pinggang di sisi brankar Rakha.
"Sekarang gini aja deh, Kha, demi Mas, demi Mbakmu, ada baiknya kita merahasiakan hal ini," suara Wisnu kali ini terdengar melemah seiring dengan keputusasaan yang menyergap dirinya tanpa ampun. Masalah dalam hidupnya sudah cukup berat, tak sampai hati jika dirinya kini harus melihat sang adik ipar terlibat urusan hukum. Sebab Wisnu tahu betul perangai Rakha, dia itu laki-laki sholeh dan baik. Rakha bukan pecundang yang akan diam saja ketika melihat hal-hal buruk terjadi di sekitarnya. Rakha adalah seorang lelaki sejati dalam pandangan kacamata seorang Wisnu. Sebab itulah, Wisnu perlu bicarakan masalah ini secara baik-baik dengan Rakha agar dia mengerti dan tidak melakukan hal bodoh yang bisa merugikan dirinya sendiri.
"Polisi sudah menutup kasus ini karena dianggap tersangka atas kasus ini sudah tiada, yaitu Pak Ahmad. Polisi mengatakan seandainya pun pihak keluarga korban menuntut ganti rugi, silahkan langsung datangi pihak keluarga Pak Ahmad. Mas sudah bilang kalau Mas tidak akan menuntut apa-apa sebab Mas tahu keluarga Pak Ahmad berasal dari keluarga tidak mampu seperti kita. Tapi Mas tidak tahu bagaimana dengan keluarga Rania, yang Mas tahu, Rania berasal dari kekuarga terpandang di Jakarta. Ayahnya pemilik perusahaan Dirgantara, seandainya mereka sampai tahu kalau tersangka yang sudah menabrak anaknya masih hidup, pasti mereka akan mengusut tuntas kasus ini karena mereka berkuasa. Kamu mau dijebloskan ke dalam penjara sama mereka? Kalau hal itu sampai terjadi, bagaimana nasib Mbakmu? Sementara Mas di sini hanya bisa mengandalkanmu untuk membantu Mas membiayai pengobatan Siti. Tolong Rakha, Allah juga maha tahu, Runi masih butuh sosok ibunya..."
Hati Rakha terenyuh mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan Wisnu. Bahkan dia pun tak sanggup menahan air matanya saat dilihatnya kini Wisnu menangis di hadapannya. Rakha tidak menyalahkan keputusan Wisnu, namun sisi lain dihatinya merasa tidak terima jika dia harus menyembunyikan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.