"Pak le, nanti pulang kerja belikan Runi mainan ya? Kemarin di telepon sebelum berangkat ke Jakarta, Pak Le bilang mau bawakan Runi mainan dari kampung, mana nggak adakan mainannya? Pak le lupa ya?" celoteh Runi yang menghadang langkah Rakha saat lelaki itu hendak keluar untuk memakai sepatu.
Rakha sudah rapi dengan setelan formalnya. Kemeja putih dan celana bahan hitam. Pagi ini dia hendak mendatangi perusahaan Dirgantara Grup yang mengundangnya untuk interview.
Rakha tersenyum kecil seraya mengangkat tubuh kurus Runi ke atas pangkuannya. "Maaf ya, Pak Le lupa. InsyaAllah hari ini sepulang bekerja nanti Pak Le akan mampir belikan Runi mainan, Runi mau dibelikan mainan apa?" tanya Rakha sambil membereskan poni sang keponakan yang berantakan.
"Boneka Barbie, Pak Le."
"Oke deh, boneka barbie siap meluncur ke tangan Runi hari ini."
"Asiik, makasih ya Pak Le. Runi doakan semoga hari ini apapun yang Pak Le lakukan di luar sana di beri kemudahan sama Allah, supaya Pak Le bisa bantu Bapak mengurus Ibu. Runi sudah kangen sama masakan Ibu. Tiap hari Bapak selalu masakin Runi telor dadar, kalau nggak telor ceplok, Runi bosen!"
Celoteh Runi memancing tawa Rakha keluar meski sebenarnya, hatinya justru teriris mendengar kejujuran bocah berumur tujuh tahun itu. Runi memang masih sangat membutuhkan sosok Mba Siti sebagai Ibunya.
Kuat Mbak...
Lekaslah sembuh, supaya Runi tidak kesepian lagi...
Bisik Rakha membatin.
Usai berpamitan pada Runi dan Wisnu yang saat itu juga sedang sibuk mengurus keperluan Runi untuk sekolah, Rakha pun beranjak dari petakan rumah kontrakan yang berdiri di pinggiran kali.
Deretan kontrakan yang bangunannya bahkan sudah terlihat tak layak huni.
Tapi berhubung uang sewanya sangat murah, jadilah tempat tersebut destinasi utama bagi para pendatang dari luar kota yang hendak mengadu nasib di Ibukota. Seperti layaknya Wisnu dan Siti. Mereka yang memilih Ibukota sebagai tempat menetap setelah mereka menikah.
Semalam, Rakha sudah diberitahu letak perusahaan Dirgantara Grup oleh Wisnu.
Wisnu bilang, dari sini dia hanya perlu naik metromini jurusan blok M dan menyambung lagi naik metromini jurusan kemayoran baru. Rakha hanya perlu mengatakan pada kenek bis agar di turunkan di depan perusahaan Dirgantara Grup.
Rakha celingukan menunggu metromini yang dimaksud. Beberapa kali dia menguap. Semalam Wisnu mengajaknya ngobrol sambil minum kopi dan main catur. Lewat tengah malam Rakha baru bisa memejamkan mata. Dan berhubung ini adalah hari kamis, Rakha terbiasa melaksanakan puasa sunah. Jadilah pukul tiga dini hari tadi, dia terbangun untuk sahur dan melaksanakan tahajud. Dia tidak tertidur lagi sampai waktu shubuh tiba karena terus larut dalam dzikirnya. Hingga waktu menunjukkan pukul setengah enam, Rakha langsung bersiap untuk berangkat.
Dan itu artinya dia hanya tertidur dua sampai tiga jam tadi malam. Pantas jika rasa kantuk begitu terasa menyerang dengan begitu dahsyatnya pagi ini.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya metromini yang dia tunggu-tunggu pun tiba. Rakha menaikinya dan sengaja mengambil posisi di pojokan. Dia hanya ingin beristirahat sejenak sebelum tiba di terminal Blok M.
Hingga akhirnya, Rakha pun benar-benar terlelap di dalam metromini itu.
*******
"Mas! Mas! Bangun Mas! Udah sampe Blok M nih!" tegur sebuah suara yang lamat-lamat di dengar oleh Rakha.
Lelaki berkemeja putih itu terperanjat hebat seraya merapikan rambut dan kemejanya. Dia berdiri setelah memberikan uang ongkos pada si kenek metromini yang tadi membangunkannya.
"Mas, coba periksa lagi barang-barangnya, ada yang hilang nggak?" tanya si kenek sebelum Rakha benar-benar turun.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Rakha langsung mengecek saku celana kirinya. Ponselnya masih ada. Lalu beralih ke saku celana kanan.
"Astagfirullah, dompet saya?" gumam Rakha yang langsung kembali ke arah tempat dia duduk di dalam metromini tadi. Dia melongok kolong tempat duduknya mencari keberadaan dompetnya.
"Udah nggak bakal ada di situ, Mas pasti udah jadi korban copet, makanya Mas, lain kali kalau di dalam metromini jangan tidur! Apalagi tidur sampe pules begitu, situ abis ngeronda ya tadi malem?" suara si kenek kembali terdengar.
Tubuh Rakha mencelos. Bahunya merosot seketika. Wajahnya memucat. Dia merogoh saku kemejanya dan hanya ada uang dua ribu perak kembalian ongkos dari sang kenek tadi. Selebihnya, semua uang yang dia miliki ada di dompet.
"Mas, kalau dari sini naik metromini ke arah kemayoran ongkosnya berapa ya kira-kira?" tanya Rakha pada sang kenek metromini.
"Paling lima ribu perak," jawab sang kenek acuh tak acuh.
Setelah mengucapkan terima kasih, Rakha pun turun dari metromini itu dan berjalan lunglai mencari metromini arah tujuan kemayoran. Otaknya berputar mencari cara agar dia mendapat uang lebih untuk ongkos.
Sebuah jam tangan yang melingkar di tangan kanannya menjadi jawaban atas kekalutannya. Rakha pun melepas jam itu dan menawarkan jamnya pada beberapa manusia yang dia temui di terminal. Berharap ada sosok malaikat yang bisa dia temui di sini.
Benar kata Wisnu, Jakarta itu kejam. Tidak boleh lengah sedikit, jangankan barang-barang yang bisa raib, nyawapun bisa menjadi taruhan jika kita tidak pandai-pandai menjaga diri.
"Ini sih jam biasa, Mas. Buat apa saya begituan?" ucap seorang laki-laki pemilik warung rokok yang dimintai tolong oleh Rakha.
"Bayarin berapa aja deh, Pak. Saya di buru waktu nih, mau interview kerja, tadi kecopetan di bis, saya cuma perlu uang untuk ongkos ke kemayoran," ucap Rakha apa adanya. Kemeja putihnya sudah bermandikan peluh karena dia sudah terlampau jauh berjalan. Kenapa mendapatkan secuil pertolongan di Jakarta sangat sulit? Bahkan orang-orang itu terkesan menyepelekan cerita Rakha, seolah dirinya sedang mengada-ngada. Tak ada yang perduli dengan kesulitannya.
"Kalau cuma buat ongkos ke kemayoran sih saya mau bayarin," sahut si pemilik warung rokok itu. Dia mengambil alih jam tangan milik Rakha dan menukarnya dengan selembar uang lima ribu perak. "Nih, udah kan?"