Dear School 98

Devichy
Chapter #2

Kasta Rendah

 8 bulan sebelumnya ...

Mentari pagi melintasi penjuru negeri. Pertanda dimulainya lagi roda ekonomi. Negeri ini masih dirundung nestapa. Jalan-jalan mencekam, toko-toko tutup, tidak sanggup menghadapi inflasi. Hari demi hari kekacauan melanda demi memperebutkan sesuap nasi. Hanya satu tanya dibenak mereka yaitu kapan krisis ekonomi akan berakhir. 

Ironi lain di perumahan elit tempat bermukim pejabat dan konglomerat. Krisis ekonomi hanya berimbas pada kebisingan telinga mereka menghadapi kasta rendah yang terus merengek. Harta mereka masih banyak, kehidupan mereka masih berlimpah. Di sini, di tempat yang hanya bisa Lastri pandangi. Gadis itu gugup menunggu nasibnya. 

Ruang tamu akbar itu bergaya tradisional Jawa. Beberapa hiasan kuno tertata rapi di lemari kaca. Sebuah foto keluarga terpajang elok bersanding dengan lukisan-lukisan mahal. Di sudut ruangan terpampang jam dinding besar berukir kayu, sewarna dengan kalender bertuliskan 1997 di sudut yang lain. Belasan tahun ayah Lastri bekerja di rumah itu, tapi baru pertama kali Lastri berkunjung. Lastri menatap ayahnya yang duduk menunduk di depan pria tua yang tak lain adalah mbah Handoko, majikannya. Sedari tadi kakek 68 tahun itu memeriksa rapor SMP Lastri.

Tujuan pertemuan pagi itu adalah memberi bantuan pendidikan untuk Lastri. Gadis berkepang dua itu sudah beberapa bulan putus sekolah karena kekurangan biaya. Orangtua-nya pun telah menyerah karena merasa krisis ekonomi semakin parah dan jauh dari kata berakhir. Mbah Handoko sebagai majikan merasa bertanggungjawab dan akhirnya memanggil Lastri ke rumahnya.

Awalnya Lastri menolak, karena sebenarnya Lastri sendiri sudah siap bekerja di pabrik begitu lulus SMP, sama seperti teman-temannya. Tetapi melihat kondisi negeri saat ini, Lastri merasa kerja pabrik saja tidak akan cukup menyelamatkan hidup keluarganya. Belum lagi kemungkinan pabrik bisa tutup kapan saja. Setidaknya Lastri akan punya keterampilan lebih jika dia mengantongi ijazah SMU.

“Kamu tau nduk, bapakmu itu bukan sekedar tukang kebun di rumah ini. Tetapi sudah mbah anggap sebagai anak sendiri,” tutur mbah Handoko. Lastri tersenyum tipis. Tidak ada yang paling membuat Lastri bangga selain pekerjaan kasar itu dihargai. Meskipun ada saat-saat dia malu dengan status keluarganya.

“Tiap mbah kasih bonus selalu ditabung. Katanya buat biaya sekolah anaknya yang paling pintar. Krisis ekonomi seperti sekarang beli pangan saja susah. Tapi bapakmu ngotot kamu jangan sampai putus sekolah,” lanjut mbah Handoko.

Ayah Lastri hanya bisa tersenyum kikuk. “Kami ndak punya anak laki-laki mbah. Kakak Lastri yang pertama lulus SMP sudah dipinang. Kakak Lastri yang kedua merantau ke Pabrik garmen. Cuma Lastri harapan terakhir kami, minimal sekolahnya harus selesai."

Mbah Handoko meletakkan rapor berwarna biru itu lalu menatap keduanya. "Dengan nilai-nilai seperti ini, eman-eman kalau putus sekolah. Saya sendiri yang akan mendaftarkan Lastri ke SMU Merah Putih."

"Saya sekolah di SMU Negeri biasa saja mbah," sela Lastri. Ayah Lastri langsung menyenggol kaki gadis itu, menahan Lastri untuk tidak kebanyakan protes.

Mbah Handoko menatap Lastri sambil membenarkan kacamata-nya. ”Kesempatan bagus jarang datang dua kali. Banyak alumni SMU Merah Putih yang jadi orang besar. Kalaupun kamu tidak bisa lanjut kuliah nanti, kamu punya banyak kesempatan dan koneksi jika jadi alumni sana.”

“Tapi mbah, saya takut tidak bisa membaur dengan siswa-siswa sana yang hampir semua anak orang berada.”

“Kalian sama-sama manusia. Sama-sama ingin menuntut ilmu. Apa bedanya?”

MBAAAH!! BILANG SAMA IBU SURUH BERHENTI MARAHIN AINUN! 

Terdengar teriakan seorang gadis dari dalam rumah. Suara gaduh perabotan mengiringi langkah kakinya. Gadis manja bernama Ainun itu terkejut setelah membuka tirai ruang tamu. Ternyata sang kakek sedang menjamu Lastri dan ayahnya. Selang dua detik, perempuan paruh baya yang merupakan ibu dari Ainun keluar dari tempat yang sama. Keduanya saling membuang muka seperti habis bertengkar. 

“Ada apa lagi tho? Pagi siang malam, berantem terus!” pekik mbah Handoko diiringi helaan napas. Sekarang ia paham maksud Lastri jika anak sepertinya memang berbeda dengan anak orang berada. Contoh saja cucunya Ainun. Bukan masalah harta, tetapi yang lebih mencolok adalah adab sopan santunnya. 

Lihat selengkapnya