Bicara soal hidup, aku hidup dalam lingkaran yang cukup membosankan. Bangun pagi setiap hari senin hingga jum’at untuk mencari gerak-gerik langkah dosen pembimbing yang waktunya seperti berputar di dunia lain. Di depan ruang tunggunya, aku duduk cukup nyaman diantara hembus ac yang menyembulkan rasa dingin dan aura sedingin dosen itu. aku tak akan menyebut namanya, lebih tepatnya malas menyebutnya dalam kisah kali ini. Namanya tak cukup penting dibanding tugas pentingnya, membimbing skripsiku.
Permisi Dokter, apakah besok ada waktu luang?
Ya, besok pukul 11.00 am
Baik, terimakasih dokter
Kulihat pesan yang sedari kemarin siang terpampang jelas, lalu kulihat jam tangan casio yang melengkung klasik di pergelangan tanganku. Pukul 10.50
“Oke, sepuluh menit lagi aku akan masuk ke ruangannya,” kataku mantap dalam hati.
Sepertinya sedang tidak ada bimbingan lain selain aku sekarang, karena di depan ruangannya hanya ada aku dan tumpukan berkas skripsiku. Aku celingukan kesana kemari memastikan lagi apakah ada mahasiswa lain selain aku. Kulihat lagi jam tanganku yang menunjukkan 10.55 Tepat setelah aku melihat jam, muncul satu mahasiswa lain dari ujung koridor. Mahasiswa itu melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Aku mengenali wajahnya tapi tak tahu siapa namanya. Sepertinya ia adalah kakak tingkatku, tapi aku tak tahu namanya.
“Lagi nungguin Dokter Kelvin, ya?” Ia membuka mulut dan terdengar suaranya yang sedikit serak.
“Hm... iya, Kak” Aku asal memanggilnya, barangkali dia memang benar seorang kakak tingkatku.
Aku membuka kembali map bening berwarna hijau yang penuh dengan tumpukan kertas yang kubawa. Memastikan apakah berkas-berkas skripsiku sudah lengkap. Saat ini jam tanganku menunjukkan tepat pukul 12 siang. Seperti dugaanku, Dokter Kelvin pasti terlambat lagi kali ini. Yah, mungkin beliau sedang sibuk.
Permisi Dok, saya sudah berada di depan ruangan anda
Oh, maaf Sandy, saya datang agak telat, ya. Saya masih mengantar ibu saya Arisan.
Baik Dokter.
“Hah! Mengantar ibu arisan?” tanpa kusadari aku menggerutu keras.
“Siapa?” Kakak Tingkat yang duduk di sebelah sontak langsung menoleh saat mendengar gerutuku yang sudah kelewat keras.
“Dokter Kelvin!” Aku berseru keras, hingga bunyi mesin ac yang tadinya terdengar cukup keras tenggelam di Tengah pita suaraku.