Aku berlari kalang kabut keluar dari kamarku titik sampai-sampai aku sedikit menabrak bapak yang berdiri di depan pintu kamarku titik sepertinya Bapak juga hendak membangunkanku karena ini sudah sangat sore.
Sejak saat pulang dari PKL Batu, Bapak dan Ibu tidak pernah lagi menyinggung soal pertunanganku dengan Dokter Kelvin. Mereka lebih menganggap Dari Dokter Kelvin sebagai anak lelakinya yang kadang bisa kapan saja datang ke rumah. Apalagi sikap sopan dari dokter kelvin yang terlihat jelas itu mampu meluluhkan tembok keraguan dari Bapak dan Ibu.
Satu-satunya yang merasa tidak nyaman di sini adalah aku. Apalagi aku juga dalam dua minggu ini tidak berada di rumah. Jadi, keberadaan Dokter Kelvin yang menungguku lebih dari 3 jam terasa sangat aneh dan agak memalukan bagiku.
"Hah ... Hah ... Ini dokter." Sambil mengatur nafas usai berlari tak karuan, kuserahkan laptopku yang sudah membuka draft skripsi di Microsoft Word itu pada Dokter Kelvin.
Hening.
Tak ada respon apapun dari Dokter Kelvin, dan hanya terdengar dari mesin kipas angin yang menyala cukup keras untuk meredam panas dan sumuknya kota Surabaya.
"Dokter?"
Aku yang juga masih setengah sadar dan meletakkan laptopku di meja ruang tamu ternyata baru sadar kalau Dokter Kelvin juga tampak sedang tertidur pulas dengan laptop yang ukurannya lebih kecil dariku terbuka lebar di hadapannya hingga layarnya yang masih menyala itu kini terlihat menonton dirinya yang tertidur.
"Hah...." Aku ikut Duduk di sampingnya yang saat ini duduk di atas karpet dengan kepala yang bersandar di atas meja.
"Kelihatannya Kelvin juga kecapean itu sandi...." Tiba-tiba terdengar suara berat Bapak yang kebetulan dengan sengaja lewat ke ruang tamu sambil membawa secangkir teh hangat.
"Tolong dibangunkan ya San, 5 menit lagi. Lalu minta Kelvin makan sore dan kalau ingin melanjutkan tidurnya, sebaiknya dia pindah ke kamar tamu di depan sini,"kata Bapak sambil menyeruput teh hangatnya.
"Lho ... kok aku yang membangunkan Pak?" Protesku pada bapak yang dengan santai meminta tolong seperti itu.