Dear Seventeen

Shela maulidiyah safitri
Chapter #1

Putih Abu#1

Pagi itu pukul 06.45, aku sedang berada di meja makan dan melahap habis satu buah roti isi yang telah Ibu siapkan untukku. Selepas mengikat tali sneakers putih ku, aku menyampirkan tas di punggung kemudian mengecup singkat tangan dari wanita yang telah melahirkan serta merawatku itu. 

"Rara berangkat dulu ya Ma, Assalamualaikum," ucapku sembari berlari keluar dari rumah terlihat bersemangat.

Melihat itu, wanita paruh baya itu tersenyum tipis sebelum menjawab. "Waalaikum salam. Hati-hari di jalan!"

Sampai di teras rumah, aku segera menutup pintu kemudian memandang ke sekitar, menghirup udara pagi hari yang terasa menyegarkan sembari merenggangkan kedua tangan dengan senyum lebar. Aku benar-benar menyukai sekolah baruku, apalagi aku juga telah menemukan teman baik di sana.

Sedang asik menunggu seseorang yang datang menjemputku, aku menolehkan kepala menatap rumah tetangga sebelah. Dan selanjutnya keningku berkerut seketika, menatap rumah sebelah yang sudah lama kosong kini kembali dipenuhi banyak perabotan di luar rumah juga beberapa orang dewasa yang sedang berbincang di sana, entah membicarakan apa.

Apa aku akan mempunyai tetangga baru?

Terakhir kali, aku melihat rumah sebelah di huni ketika aku SMP kelas satu. Seingatku dulu tetanggaku mempunyai anak perempuan yang juga seusiaku saat itu. Namun sayang anaknya jutek dan tidak ingin berkawan dengan siapapun terlihat sombong.

Aku jadi menerka-nerka, apakah terangga baruku akan mempunyai anak yang se usiaku atau tidak. Jikalau iya, aku akan merasa senang, tapi kuharap kali ini kami bisa berteman baik tidak seperti tetanggaku tiga tahun yang lalu.

Aku masih memandangi rumah tetangga sebelah, hingga tidak menyadari sebuah mobil putih mulai memasuki area pekarangan rumahku. 

Orang di dalam mobil itu membunyikan klakson, refleks saja membuatku hampir mengumpat kesal karena tetangga baruku juga menatap kami berdua dengan alis berkerut.

Segera saja aku berlari menghampiri kakak sepupuku dan langsung menutup pintu mobil begitu aku masuk ke dalam sana.

"Bang Edgar ih, pakai bunyiin klakson segala, malu tahu sama tetangga tadi mereka ngelihatin kita terus," dumelku merasa kesal.

Sekilas cowok yang kupanggil Edgar itu menatapku dengan alis terangkat sebelum kembali fokus pada kegiatan menyetirnya. 

"Ya apa masalahnya? Gue kan bukan pacar lo, mereka nggak akan nge ghibah."

Aku mendengus, ingin sekali menjambak rambutnya. "Bukan itu tahu! Maksudku gak enak aja, udah gangguin tetangga baru gitu ...."

"Ohh mereka tetangga baru? Pantas sok baik, mau pencitraan ya lo?" Kali ini aku tidak bisa menahannya lagi. Aku refleks mencubit pinggangnya membuat cowok itu mengumpat kesal. Aku merasa puas.

Kemudian kami sampai di depan gedung besar bercat biru bertuliskan SMA Pelita. Dulu ini sekolah Bang Edgar sebelum aku pindah ke Indonesia. Aku dan dia selisih empat tahun. Namun jika dilihat-lihat lagi Bang Edgar memang tampan dan wajahnya yang awet muda itu terlihat sepantaran denganku. Juga jangan lupakan sifat kekanak-kanakannya itu.

Oh iya sebenarnya aku ini anak blasteran indonesia-korea, jadi jangan heran kalau namaku itu terlihat aneh, gabungan dari nama Indonesia dan korea. Faradella Choiera, biasa dipanggil Faradella atau Rara. Aku juga sempat menetap di korea sejak kecil sampai SMP kelas satu aku pindah ke indonesia karena suatu alasan, meskipun begitu aku pandai berbahasa Indonesia karena kakek-nenek serta Ayahku orang Indonesia. Kami juga sering pergi ke Indonesia jika liburan. 

Aku melambaikan tangan ke arah Bang Edgar sebelum mobil itu melaju meninggalkanku yang sekarang tengah berdiri di depan gerbang. 

Kini aku berjalan melewati gerbang, dan kembali meneruskan langkah lebih dalam memasuki wilayah sekolah sembari memperhatikan keadaan sekitar. Ini sudah satu minggu tepat aku berada di sekolah ini, namun rasanya masih asing bagiku.

Awal aku masuk menjadi murid baru di sini, aku menjadi pusat perhatian murid-murid. Mungkin karena wajahku yang putih pucat khas orang korea membuat mereka bertanya-tanya identitasku. Tapi sepertinya sekarang satu sekolah telah mengetahui siapa aku.

Langkahku terhenti begitu saja begitu tangga untuk menaiki kelasku kini dipenuhi dengan murid cowok. Selalu saja gerombolan mereka. Tidak, aku tidak mengenalnya. Hanya saja, apa hanya perasaanku saja, mereka selalu bersantai di tangga itu ketika aku baru saja mau ke kelas atau pulang dan bahkan saat akan pergi ke kantin. 

Lihat selengkapnya