Untuk beberapa alasan, berjalan sendirian setelah pulang sekolah di sore hari menjadi sebuah hal yang menyeramkan bagiku. Aku tidak tahu apa ini sekadar prasangka buruk atau memang benar adanya, aku merasa sedang diikuti oleh seseorang.
Aku yakin benar, dari sudut mataku, aku menangkap seperti bayang-bayang seseorang namun saat aku menolehkan kepala entah kenapa tidak ada seorangpun di sana. Aku jadi merasa sedang berada di novel di genre horror-misteri dan bukan novel teenlit lagi. Ah aku ngaco, mungkin karena kebanyakan baca novel kwikku genre horor.
Rumahku bisa dibilang lumayan jauh dari halte bus, aku harus memasuki kawasan perumahan sewa sebelum berjalan lurus menuju blok barat. Di sana juga terbilang sepi, kebanyakan orang-orang di sana ambisius dan pekerja keras tak terkecuali kedua orang tuaku.
Aku lanjut berjalan dengan kepala menunduk. Benar-benar mengerikan. Gadis polos sepertiku harus berjalan sendirian sampai rumah, belum lagi sore hari adalah hari yang paling kuhindari. Biasanya kawasan rumahku paling sepi di sore menjelang malam hari bahkan sampai pernah tidak ada satupun orang yang lewat di jalan.
Sebenarnya bisa saja aku kembali menelpon dan minta jemput Bang Edgar namun aku tidak ingin terlalu merepotkan, apalagi sepupuku itu kerja magang tiap sore. Kalau Rania dia selalu dijemput supir pribadinya dan rumah kami beda arah jadi aku selalu menolak tawaran darinya yang selalu ingin mengantarku pulang.
Aku hampir saja membuka gerbang rumah, saat sebuah suara aneh berhasil mengagetkanku dan sontak saja membuatku menutup mulut karena hampir berteriak saking terkejutnya.
PRANG!
Aku tersentak, tengkuk ku sudah lemas dengan keringat dingin di tubuhku. Bayangkan saja, di sekitar sini sepi dan aku sendirian, bukankah itu sudah cukup menjadi alasan kenapa aku tiba-tiba setakut ini?
Ragu-ragu aku menoleh ke belakang, berjalan memeriksa lorong depan yang bersebelahan dengan rumah kecil berhadapan dengan rumahku. Ketika aku memeriksanya, aku hanya menemukan tong sampah yang terjatuh berantakan dengan seekor anak kucing di sana. Aku menghela napas lega, meskipun begitu aku tetap merasa was-was.
Baru saja aku hendak membalikkan badan, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang berbadan jangkung yang secara mendadak sudah berhadapan denganku.
"Kkamjjak-iya," latahku tidak sadar, namun sedetik kemudian aku mendelik begitu aku menyadari sosok tersebut adalah Ragaska.
Berusaha menguasai raut wajah, aku mulai mengacuhkannya. Berjalan santai membuka pagar rumah melewatinya begitu saja, solah aku tidak dapat melihat sosok itu yang kini sedang menatapku dengan alis mengernyit.
Ragaska memandangiku sejenak, membiarkanku bergerak masuk dan hampir menutup pagar rumah kalau saja pergelangan tanganku tidak ditahan olehnya.
"Faradella, narang chinku haja?" (Mau jadi temanku?)
Aku mengerjap, menyadari kalimat itu membuatku dejavu pada kejadian empat tahun lalu.
"Maaf aku nggak kenal sama kamu," ketusku sembari menatapnya tajam.
"Ra, lo masih marah sama gue?" tanya Ragaska sembari memahan gerbang rumahku, tidak membiarkanku menutupnya.
Aku menatapnya jengah. Akhirnya mencoba menghela napas panjang sebelum menatap sosoknya sekaligus mengalihkan pembicaraan. "Dari tadi, kamu ngikutin aku ya?"
Ragaska terlihat mendengus. Tangannya yang semula mencekal lenganku kini telah di lepasnya "Kalau iya kenapa? Emang rumah gue sekitar sini," ujarnya masih santai.
Aku mengulum bibir, mulai teringat tetangga baruku yang dari kemarin malam tidak berhenti memainkan gitarnya hingga aku sama sekali tidak bisa tidur karenanya.
Aku menggeleng. "Gak mungkin! Lebih baik kamu cepetan pergi, aku mau istirahat," ujarku, langsung beranjak dan masuk ke dalam rumah.