“Sarapan dulu,” ucap Wirawan saat Yodha melintas di ruang makan dengan seragam putih abu-abu, dan menyangklong tas sekolah warna hitam di punggung.
Yodha hanya melirik sinis dan menatap bergantian ketiga orang di meja makan itu. Wirawan yang sudah rapi mengenakan kemeja biru muda berlengan panjang, duduk di kursi tengah. Perempuan berambut panjang sedikit bergelombang, duduk di kursi yang biasanya menjadi tempat Sandra. Di samping kirinya, cewek berseragam sama seperti Yodha, duduk sambil menundukkan kepala. Mereka terlihat seperti keluarga bahagia dan Yodha tidak ingin menjadi bagiannya. Dia melengos pergi.
“Anak itu!” Wirawan nyaris bankit, jika Miranda tidak segera menggenggam jemarinya.
“Masih pagi, Mas. Jangan ribut,” ucap Miranda lembut.
“Yodha perlu dikasih tau, biar belajar sopan santun,” Wirawan menahan geram.
“Pelan-pelan aja. Kalau dikerasi, nanti Yodha malah menjauh dari Mas Wira,” tutur Miranda mengingatkan. Dia lalu menoleh pada Shanaya. “Naya, sarapannya bisa cepat sedikit?”
Shanaya mengangguk dan menghabiskan sarapannya dengan cepat. Ini hari pertamanya di sekolah baru. Dia tidak boleh terlambat. Selain itu, Shanaya berangkat bersama Yodha, lebih baik dia tidak membuatnya menunggu lama.
“Bunda udah siapin bekal buat kalian. Tolong kasih ke Kak Yodha,” Miranda menyodorkan dua buah kotak bekal kepada Shanaya. Satu berwarna biru. Satu lagi berwarna pink.
Shanaya ragu untuk mengiyakan perintah Miranda. Dia takut mendekati Yodha. Apalagi kejadian tadi malam menimbulkan kesan kurang menyenangkan. Tatapan Yodha pagi ini juga masih terlihat mengintimidasi.
“Kok diam aja?” Pertanyaan Miranda menarik angan Shanaya dari lamunan.
Shanaya terpaksa menerima kotak bekal itu, lalu berpamitan pada Miranda dan Wirawan. Sejujurnya, dia terbebani saat tahu Wirawan memindahkan sekolahnya. Untung saja dia berada satu tingkat di bawah Yodha, jadi tidak mungkin mereka akan berada di kelas yang sama.
Dengan langkah tergesa-gesa, Shanaya menuju mobil yang sudah berada di luar garasi. Dia membuka pintu di belakang sopir, dan ragu saat melihat Yodha sudah duduk di kursi sebelahnya.
“Buruan! Lo mau kita telat?!” gerutu Yodha kesal.
Shanaya buru-buru masuk, dan duduk berdampingan dengan Yodha, sambil memangku kotak bekal titipan Miranda.
“Kak,” Shanaya memberanikan diri berbicara saat mobil sudah meninggalkan kawasan perumahan. “Ini bekal buat Kak Yodha.” Hati-hati bercampur takut, dia menyodorkan kotak bekal itu.
“Gue bukan kakak lo! Enggak usah sok akrab!” Yodha bersungut sambil memejamkan mata, tidak ingin diganggu.
Shanaya menatap sedih pada bekal di pangkuannya. Dia tidak mungkin menghabiskan dua bekal sendirian. Tidak ingin terlalu bersedih, Shanaya menatap keluar jendela mobil. Setelah keluar dari area kompleks, banyak kendaraan pribadi dan transportasi umum baik roda dua maupun roda empat, memadati jalanan. Pagi hari memang menjadi waktu sibuk bagi banyak orang, terutama di kota-kota besar.
Sepanjang perjalanan, tidak ada perbincangan apa pun. Sesekali hanya terdengar suara klakson bersahutan. Mobil mereka akhirnya berbelok meninggalkan jalan utama. Beberapa meter di depan, terlihat murid-murid SMA yang berjalan di tepian. Ada juga yang diantar mobil atau membonceng ojek online.
“Berhenti, Mang,” ujar Yodha tiba-tiba kepada sopirnya.
Pria paruh baya bernama Hendra itu menuruti perintah Yodha. Dia menghentikan mobilnya meskipun belum sampai di gerbang sekolah.