“Papa sama Bunda lusa mau ke Bali. Ada proyek yang harus kami kerjakan. Mungkin sekitar satu minggu. Naya mau ikut?” tanya Wirawan pada Shanaya.
Mereka bertiga sedang makan malam. Yodha masih menolak bergabung bersama mereka. Dia lebih memilih kelaparan.
“Enggak, Pa. Naya kan baru masuk sekolah. Butuh adaptasi sama temen-temen,” timpal Shanaya menolak ajakan Wirawan.
Tadinya Wirawan berencana mengajak Shanaya dan Yodha ke Bali agar mereka lebih akrab. Namun, Shanaya benar. Murid pindahan seperti Shanaya butuh waktu untuk mengenal lingkungan dan teman-temannya.
“Ya, udah. Enggak apa-apa. Papa titip Yodha ke kamu. Kalau dia berulah, kamu kasih tau Papa,” pesan Wirawan.
Shanaya tersenyum kaku. Bagaimana bisa dititipkan seperti itu? Yodha saja memintanya menjaga jarak. Masih untung Yodha tidak merundung Shanaya seperti di film-film atau cerita fiksi.
“Omong-omong, gimana sekolah kamu?” Wirawan kembali bertanya.
Miranda ikut memperhatikan Shanaya, mengantisipasi jawabannya.
“Seru. Temen-temen di kelas Naya baik semua,” sahut Shanaya jujur.
“Yodha enggak bandel, kan?” tanya Wirawan menyelidik. “Kali aja kamu dengar cerita apa gitu tentang dia.”
Shanaya menggeleng. Dia tidak memperhatikan Yodha meskipun kelas mereka saling berhadapan. Hari ini dia hanya berkenalan dengan teman-teman di kelasnya. Shanaya juga tidak berniat mencari tahu tentang Yodha.
“Kamu tegur aja kalau Yodha bikin ulah,” ujar Wirawan lagi, masih membahas Yodha.
Shanaya mengangguk ragu. ‘Gimana mau negur? Ngaku kenal aja enggak boleh.’
“Naya udah selesai,” Shanaya meletakkan sendok di atas piring dan membawanya ke tempat pencucian.
“Naya, tolong bawain makan buat Kak Yodha, ya.” Miranda menyendok nasi dan beberapa lauk ke piring porcelen.
“Biarin aja, jangan dimanjain. Kalau laper juga nanti dia turun sendiri,” tandas Wirawan.
“Nanti Kak Yodha sakit, Mas.” Miranda mengabaikan teguran Wirawan. Dia menyodorkan sepiring nasi dengan lauk ayam rica-rica kepada Shanaya untuk diantarkan ke kamar Yodha.
Shanaya ingin menolak, tapi tidak enak hati. Dia tidak mau Wirawan dan Miranda tahu tentang sikap Yodha yang kurang bersahabat. Akhirnya, Shanaya terpaksa membawa makanan itu ke kamar Yodha di lantai dua.
Begitu berdiri di depan kamar, Shanaya mengatur napas. Tangan kanannya memegang erat piring, sementara tangan kirinya mengetuk pintu. Terdapat sebuah lembaran kertas A4 yang menempel di sana, dengan tulisan: Dilarang masuk tanpa izin. Kecuali babi hutan!
Shanaya bukan babi, jadi dia memanggil Yodha pelan dan meminta izin. “Kak, aku boleh masuk?”
Namun, tidak ada sahutan meski Shanaya sudah mengetuk beberapa kali. Dia akhirnya nekat mendorong pintu itu hingga terbuka. Untung saja tidak dikunci.
“Lo enggak bisa baca?” Yodha langsung menyembur Shanaya dengan pertanyaan bernada sinis.
“Aku udah ketuk pintunya,” sahut Shanaya berusaha menyembunyikan rasa takut.
“Lo dengar gue izinin masuk?”
Shanaya tahu dirinya salah, tapi dia memberanikan diri memasuki kamar itu. “Kak Yodha belum makan, jadi Bunda minta aku anterin ini,” ucapnya sambil meletakkan piring di samping buku-buku yang tertumpuk rapi di meja belajar.
“Gue enggak laper!”
“Bunda khawatir Kak Yodha nanti sakit. Dari kemarin Kak Yodha enggak pernah makan malam,” Shanaya mengungkapkan kecemasan Miranda.
“Enggak usah sok peduli!” bentak Yodha, tangannya menghempaskan piring dari meja.