Kamar seluas empat kali empat meter itu rasanya terlalu besar untuk Shanaya. Namun, penataannya hampir mirip dengan kamaranya dulu. Single bed diletakkan dekat tembok dengan wallpaper kelopak-kelopak sakura. Berjarak setengah meter, terdapat meja belajar dan rak-rak buku menggantung di atasnya. Lemari pakaian berada di samping pintu, tingginya menyentuh plafon kamar. Cermin berbentuk oval menempel di bagian sisi lemari.
Shanaya menutup bukunya, lalu memeriksa jam di layar ponselnya. Sudah hampir jam sembilan. Rumah itu terasa sangat sepi. Wirawan dan Miranda berada di Bali, sedangkan Yodha pergi entah ke mana. Padahal Wirawan sudah melarang Yodha keluar rumah.
“Kak Yodha udah pulang apa belum, ya?” Shanaya mengkhawatirkan Yodha.
Shanaya memutuskan mengecek Yodha di kamarnya. Dengan hati-hati, dia menuju kamar sebelah. Peringatan masih tertempel di pintunya. Shanaya mengetuk, lalu pelan-pelan membuka pintu itu. Kosong. Tidak ada Yodha di sana.
“Apa Kak Yodha di bawah?” Shanaya bergegas turun.
Ruang tengah yang biasanya digunakan untuk menonton televisi, sepi. Shanaya berpindah mencari di ruangan lain. Kamar tamu, kamar mandi, kolam kecil di halaman samping, bahkan di dapur, tidak ada siapa-siapa.
“Kalau Om Wira telepon, terus nananyain Kak Yodha, gimana?” Shanaya tidak tahu harus melakukan apa dan bertanya pada siapa. Mbak Ida tidak menginap di rumah itu, sedangkan Mang Hendra sepertinya sudah tidur.
Shanaya melanjutkan pencariannya ke garasi. Motor besar milik Yodha belum kembali. Dia melongok keluar. Gelap karena sudah larut dan langit masih mendung, hujan baru berhenti beberapa menit yang lalu.
Kalau terjadi sesuatu, Shanaya merasa bertanggung jawab karena Wirawan menitipkan Yodha kepadanya.
“Lagian aneh-aneh aja. Kak Yodha udah gede, kenapa harus aku yang jaga?” gerutu Shanaya.
Tiba-tiba, deru motor terdengar mendekat. Shanaya buru-buru mengambil payung di sudut dapur dan membukakan gerbang. Dia ingin berjingkrak saat melihat Yodha benar-benar pulang.
Yodha memasukkan motor ke garasi dan mematikan mesinnya. Sementara itu, Shanaya kembali mengunci gerbang, lalu buru-buru menghampiri Yodha yang basah kuyup.
“Cari muka aja terus!” cibir Yodha dan berlalu meninggalkan garasi.
Shanaya kesal karena kekhawatirannya disalahartikan oleh Yodha. Namun, dia lega karena Yodha sudah pulang. Sebelum kembali ke kamar, Shanaya menyempatkan diri mampir ke dapur untuk membuatkan susu cokelat hangat dan roti panggang. Dia mengira Yodha mungkin belum sempat makan.
“Kasihan kalau nanti sakit gara-gara kehujanan dan kelaparan,” pikir Shanaya.
Segelas susu dan sepiring roti panggang itu Shanaya bawa ke lantai dua. Dia melipir ke kamar sendiri untuk mengambil sticky note dan pulpen. Dia yakin Yodha tidak akan menerima pemberiannya. Jadi, dia harus melakukan cara itu.
Shanaya menuliskan beberapa kalimat pada sticky note : Silakan benci sama aku, tapi jangan benci makanannya. Di luar banyak orang kelapara.
Setelah itu, Shanaya meletakkan gelas dan piring di depan kamar Yodha, lalu menyelipkan sticky note yang disiapkan melalui celah bawah pintu. Dia mengetuk tiga kali dan berlari kembali ke kamar sendiri.
Sementara itu, Yodha baru saja mengganti baju. Dia melangkah menuju pintu dengan malas. Keningnya mengernyit saat melihat kertas berwarna kuning di dekat pintu. Dia memungutnya dan membaca pesan dari Shanaya.
“Caper amat!” sungut Yodha.
Bukannya membuka pintu, Yodha berbalik menuju kasur dan merebahkan diri di sana. Dia tidak berminat sama sekali menyentuh pemberian Shanaya.
“Ogah banget gue makan makanan dari lo!”
Sialnya, lambung Yodha berkhianat. Suara keroncongan terdengar memecah keheningan. “Sialan! Gue laper!”