22 Desember 2018 - Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta.
Gadis itu menyandarkan tubuh di meja kasir. Sepasang manik matanya yang kecoklatan menatap selembar boarding pass yang diperoleh saat check in lima belas menit lalu. Sepintas, keraguan tergambar samar pada wajah oval dengan pipi kemerahan itu. Dia tahu bahwa keputusannya ini terhitung nekat. Sangat nekat.
“Kak, ini pesanannya ya.” Sebuah suara membuyarkan lamunannya.
Gadis bernama Jingga itu refleks menoleh, menyelipkan kembali boarding pass-nya ke dalam saku jeans, kemudian menerima sebuah nampan berisi sekotak yakiniku rice dan segelas minuman cola. Tanpa menunggu Jingga beranjak dari tempatnya, pramusaji sekaligus kasir yang barusan melayaninya itu, segera mempersilakan pengantre berikutnya untuk maju.
Jingga lantas berbalik dan berusaha keluar dari antrean yang mengular hingga menutup aksesnya menuju meja kursi pengunjung. Ransel polkadot yang tergantung di punggungnya, serta kedua tangan yang sibuk memegang nampan, membuatnya kesulitan menembus kerumunan pengantre.
Gadis itu mendesah kesal. Dia tidak mengerti, kenapa orang-orang itu tidak tergerak sedikit pun untuk memberinya jalan. Padahal dia hanya ingin lewat, bukannya menyerobot antrean.
Setelah berhasil terbebas dari kerumunan itu, rupanya tidak membuat perjuangannya usai. Jingga masih harus mencari meja kosong agar bisa segera menikmati sarapan plus makan siangnya yang kesorean.
Fix, memilih makan di tempat ini sepertinya bukan keputusan yang tepat. Pikirnya tadi, gerai makanan cepat saji akan lebih praktis untuknya yang terburu-buru. Namun ternyata dia justru membuang cukup banyak waktu untuk mengantre dan menunggu pesanannya disiapkan. Kini, gadis itu masih harus menanti pengunjung lain selesai makan. Perfect! Jika tahu sejak tadi, tentu dia akan memilih take away dan menikmati makannya di ruang tunggu.
Jingga melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, pukul 16.40 WIB. Artinya, dia hanya memiliki waktu kurang dari empat puluh menit untuk mengisi perut sebelum boarding. Gadis itu lantas menghela napas panjang. Sambil merapal doa dalam hati, dia mengedarkan manik matanya untuk mencari tempat kosong.
Tatapannya tertuju ke pojok ruangan. Sebuah meja yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung lain, berhasil menarik perhatiannya. Sayang, baru berjalan beberapa langkah, seorang lelaki sudah lebih dulu menempati salah satu kursinya. Jingga mendesah kecewa karena kalah cepat dari lelaki itu. Dia lantas kembali mengalihkan pandangan, berharap ada tempat lain yang kosong.
Nihil. Satu-satunya kursi kosong hanyalah yang ada di hadapan lelaki tadi.
Jingga melirik gusar. Sepertinya lelaki itu tidak sedang menunggu seseorang. Apakah sebaiknya dia meminta izin untuk menempati kursi tersebut?
Gadis itu tersadar, semakin lama dia berpikir, maka dirinya akan semakin membuang waktu. Tidak ada pilihan lain. Lebih baik mengambil resiko malu ditolak lelaki asing untuk menumpang di mejanya, dari pada ketinggalan pesawat. Gadis itu lantas menyeret kakinya untuk mencoba peruntungan, sebelum kursi kosong itu ditempati oleh orang lain.
"Maaf, kursi yang ini kosong? Boleh saya tempati?" tanyanya seramah mungkin.
Lelaki yang hendak membuka kertas pembungkus burger itu mendongak. Untuk sesaat, mata mereka saling bertemu.