"Sementara, tolong lo handle dulu ya urusan di Jakarta." Langit menempelkan ponsel ke telinganya dengan tangan kanan, sementara itu, tangan kirinya dia selipkan ke dalam saku jeans.
"Udah, lo liburan aja sono, rileks, santai. Sepet mata gue lihat lo uring-uringan terus di kantor." Suara seorang lelaki terdengar dari ujung telepon.
Langit tertawa kecil. "Thanks, Bro. Gue titip kantor ya."
"Don't worry. Proyek-proyek kecil bisa gue tangani bersama teman-teman. Lo lupakan dulu urusan kantor. Jalan-jalan sana cari cewek baru, biar lo cepet waras lagi. Gue butuh lo kembali prima ngerjain proyek besar bulan depan."
"Sialan, lo!” Langit tertawa sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.
"Selamat sore, boleh saya lihat boarding pass-nya?" tanya pramugari, sesampainya dia di pintu masuk Boeing 737 yang akan membawanya ke Semarang.
Langit merogoh saku celana jeans, mengambil selembar kertas dari dalamnya, kemudian menunjukkannya pada wanita berseragam biru di hadapannya. Pramugari tersebut mengangguk, tersenyum, dan mempersilakannya menuju tempat duduk.
Lelaki itu segera menyusuri lorong, kemudian berhenti di deretan kursi bernomor dua puluh delapan di baris kanan. Dia lantas membuka bagasi kabin dan memasukkan ranselnya ke sana.
Setelah urusan bagasi selesai, Langit masuk dan duduk di kursinya. Dia memang sengaja memilih seat di samping jendela agar bisa tidur selama perjalanan. Proyek terakhir yang dia kerjakan, membuatnya harus begadang selama berhari-hari.
Lelaki itu mengeluarkan ponselnya, kemudian menonaktifkannya sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku. Setelah itu dia memilih menyandarkan tubuh, menurunkan topinya hingga menutupi sebagian wajahnya, melipat kedua lengannya di depan dada, kemudian memejamkan mata.
Lelaki itu sedang berusaha tidur, ketika tiba-tiba sebuah benda─yang entah apa─menghantam wajahnya. Tidak terlalu keras sebenarnya. Namun, itu saja cukup membuat ujung hidungnya terasa berdenyut dan topinya terpelanting entah kemana.
"Aduh, maaf. Saya enggak sengaja."
Kini, tidak hanya hidungnya yang terasa nyeri. Kepalanya juga mendadak pening saat mendengar suara yang begitu familier di telinganya. Lelaki itu lantas membuka mata dan menoleh ke asal suara, sambil merapal doa agar tebakannya salah.
Sial, dia lagi! Rutuknya dalam hati, saat melihat sosok yang mengisi kursi tengah.
Di sampingnya, seorang gadis berpipi kemerahan dengan rambut sebahu sedang menunduk dan sibuk mencari sesuatu. Sementara itu, satu tangannya tampak memeluk ransel bermotif polkadot merah. Sepertinya, ransel norak itulah yang baru saja menghantamnya.