:: Langit ::
Tanpa melepas jaket dan sepatu, Langit merebahkan tubuhnya. Kakinya dia biarkan menggantung di tepi ranjang agar tidak mengotori seprai. Matanya menerawang menatap dinding kamar hotel. Dari raut wajahnya, sepertinya sedang ada hal yang sedang mengganggu pikirannya.
Sesaat kemudian, lelaki itu mengeluarkan ponsel dari saku jeansnya. 28 missed call. 143 chat WhatsApp. Dibukanya satu per satu pesan yang masuk. Dari teman-temannya, ibunya, Bumi, dan ... Nadien.
"Damn!!!" gerutu Langit saat menyadari bahwa hatinya baru saja mengkhianati otaknya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk move on. Namun, baru membaca nama Nadien di layar berukuran lima inci itu, dadanya masih saja terasa bergejolak tidak keruan.
Lang, please ... segera beri kabar. Ibu dan Bumi khawatir.
Langit membaca deretan huruf di ponselnya, lalu tertawa sinis.
Ya, ya, ya, tentu saja demi Bumi dan calon mertuanya. Bodoh lo, Lang! Lo kira dia menghubungi demi lo? Mimpi! ejeknya pada diri sendiri.
Lelaki itu mengusap wajahnya, frustrasi. Namun beberapa detik kemudian, tangannya tergerak juga untuk memencet nomor Ibu. Ya, gadis itu benar. Semarah apapun dirinya pada Bumi dan Nadien, dia tidak semestinya membuat ibu khawatir.
"Assalamu'alaikum, Nak. Kamu di mana?"
Tidak perlu waktu lama hingga nada sambung panggilan berganti menjadi suara cemas sang Ibu.
"Wa'alaikumsalaam, Bu. Langit baik-baik saja. Maaf baru menghubungi. Langit baru saja mendarat," balas Langit. "Ibu sehat?"
"Alhamdulillah kalau kamu baik-baik saja. Ibu sehat. Sekarang Kamu di mana? Sudah beberapa hari terakhir kamu enggak ngasih kabar, enggak pulang juga."
"Langit di Semarang, Bu. Ada kerjaan," ujar Langit. "Maaf, kemarin-kemarin lagi dikejar deadline. Jadi belum sempat mampir ke rumah."
"Jaga kesehatan ya, Nak. Lekas pulang jika proyekmu sudah selesai. Oh ya, soal itu ...."
Hening. Ibu tampak ragu-ragu melanjutkan perkatannya. Namun, Langit sudah bisa menangkap arah pembicaraan Ibu.
"Soal itu, Ibu enggak usah khawatir. Langit bakal datang kok," ujarnya kemudian.
Di ujung telepon, ibu terdengar menghela napas. "Ibu baru mau bilang, kamu enggak perlu datang kalau kamu enggak mau, Lang. Ibu paham, itu pasti berat buat kamu." Ibu terdiam sejenak.
Langit tahu, ini tidak hanya berat untuk dirinya, tetapi juga berat untuk wanita yang telah melahirkannya itu
"Enggak apa-apa, Bu. Ibu jangan khawatir. Langit baik-baik saja kok." Lelaki itu berusaha menghibur. "Tolong sampaikan pada Bumi, Langit akan datang."
"Kamu yakin, Lang?"
"Iya, Bu,” balas Langit. Samar-samar, dia mendengar ibunya sedang terisak lirih di ujung sana.
"Terimakasih ya, Nak. Terimakasih ...."
Langit mengusap wajahnya. Mendengar Ibu menangis, rasanya sungguh menyakitkan. Lelaki itu tidak sanggup jika harus berlama-lama mendengar isakan Ibu. "Iya, Bu. Sudah dulu ya, Ibu istirahat aja. Sudah malam."
"Iya, Nak. Kamu juga istirahat ya? Jangan lupa makan dulu," pesan sang ibu, sebelum mengakhiri teleponnya.
Langit terdiam selama beberapa menit, sebelum akhirnya beranjak dari ranjang. Tampaknya, guyuran air hangat adalah hal yang dia butuhkan saat ini.