Dear You

Santy Diliana
Chapter #4

Sandiwara

"Sudah sampai, Mbak."

Jingga menoleh ke arah jendela. "Oke, makasih ya, Mas."

Setelah membayar dan memberikan sedikit tip kepada sang sopir, Jingga turun dari taksi online yang tadi menjemputnya ke hotel. Ditatapnya bangunan berarsitektur kolonial dan bernuansa putih yang menjulang di depannya. 

Semarang Contemporary Art Gallery.

Gadis itu membaca tulisan yang tertera di atas pintu masuk yang terbuat dari kaca tembus pandang. Dia menyocokannya dengan flyer elektronik yang diunggah Cinta di Instagram. Dari nama dan penampakan bangunannya, sepertinya benar ini tempatnya.

Jingga menepi, mencari tempat untuk menunggu, sembari mengamati pengunjung yang lalu lalang keluar masuk galeri. Beberapa kali dia mendengar samar nama Cinta disebut dalam obrolan para pengunjung. Sepertinya mereka sangat mengapresiasi pameran yang baru saja mereka saksikan.

Nyali Jingga mendadak ciut. Sehebat ini kah sosok Cinta?

Dia melirik jam yang melingkar di tangannya. Semalam, setelah makan malam, Jingga dan Alin berpisah. Dia menuju hotel, sedangkan Alin pulang ke rumahnya. Seharusnya sepuluh menit yang lalu, dia dan Alin bertemu di depan galeri. Namun hingga kini batang hidung sahabatnya itu tidak juga tampak.

Drrrttt ... drrrttt ... drrrttt...

Jingga merasakan sesuatu dalam genggamannya bergetar, disambung dering yang mengalun lembut. Nama Alin muncul di layarnya.

"Jingga, lo belum berangkat kan?"

"Gue udah di depan galeri nih. Lo di mana?"

"Waduh! Gue masih di rumah. Pas mau berangkat, mertua gue mendadak berkunjung, nih."

"Yaaah ...."

"Lo tunggu ya? Gue nyusul sebentar lagi."

"Enggak usah, Lin. Masa mertua lo mau ditinggal gitu aja. Ntar dipecat lo jadi mantu," seloroh Jingga.

"Nah terus lo gimana? Balik aja gih ke hotel. Ntar sorean gue antar,"

"Udah terlanjur nyampe sini nih. Gue lanjut aja deh. Lo berbakti dulu sama mertua lo."

"Yah … masa gitu sih?Lo sendirian dong? Beneran nih?"

"Iya, beneran. Udah sana, jangan ditinggal telepon terus"

"Duh, gue enggak enak sama lo.”

Jingga menangkap nada penyesalan dalam suara Alin. “Ish, ini orang. Dibilangin enggak apa-apa kok,” ujarnya santai.

Di ujung telepon, Alin menghela napas panjang.“Sekali lagi, sorry ya, Dear,Balasnya. “By the way, lo jangan ngobrak-abrik pamerannya ya! Awas, lo!"

Jingga terkekeh-kekeh. "Enggak lah, palingan gue bom! Ya udah, gue tutup teleponnya. Salam buat mertua lo," ujar Jingga mengakhiri telepon dari Alin.

Selama beberapa saat, Jingga menatap ponselnya. Raut kecewa tergambar di wajahnya yang memerah terkena sengatan matahari. Apa boleh buat. Dia harus maju ke medan perang sendirian. Sejurus kemudian, dia menarik napas panjang, mengumpulkan segenap kekuatan dan keberanian yang dia miliki. Dengan mantap, dilangkahkan kakinya memasuki galeri, berbaur dengan para pengunjung yang datang silih berganti.

Pameran Fotografi : Wanita Dalam Cinta

Lihat selengkapnya