Di kamarnya, Gavi terus membenturkan kepalanya ke arah pintu. Lengannya, mencengkeram kuat gagang pintu kamar.
Lima belas menit sebelumnya, ia kembali ke rumah untuk membawa barang yang di tinggalkannya. Namun, dalam waktu yang sekejap itu, ia mendengar fakta tentangnya yang tidak pernah Gavi ketahui sebelumnya.
Mendengar keributan yang terjadi di luar, membuat pertahanan tubuhnya roboh. Dengan perasaan tercekat yang terus menyerang, Gavi hanya bisa terdiam. Tubuhnya bergetar hebat, dengan keringat dingin yang mulai membasahi pakaiannya. Perasaan itu membuatnya semakin tenggelam ke dalam sebuah dasar yang tak berujung.
“Aiissh,” ucap Gavi, berdecak kesal.
Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya, semuanya terasa aneh dan sangat menyakitkan.
Jemarinya bergerak, meremas kuat rambut miliknya. Berharap apa yang ia dengar hanya sebuah ilusi saja.
Apa yang sebenarnya terjadi? Hal apa yang Gilang dan Papa bicarakan? Kenapa mereka terus menyebutkan namanya?
Lalu, apa benar jika orang yang memiliki penyakit itu adalah dirinya? Bagaimana mungkin, selama ini Gavi merasa baik-baik saja. Tubuhnya sehat, nafsu makannya masih biasa dan ia bisa melakukan aktifitas-aktifitas umum.
Dan, sekalipun ia tidak pernah merasakan kesakitan yang di rasakan tubuhnya.
Lalu, hal apa yang mendasari dokter mendiagnosanya dengan penyakit yang sulit di sembuhkan?
Hal ini, tidak benar kan? Dokter pasti melakukan kesalahan kan? pikir Gavi dalam hatinya.
Pertanyaan-pertanyaan yang di milikinya perlahan tumbuh menjadi liar dan membuat ia membayangkan scenario terburuk yang akan terjadi di hidupnya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pertanyaan itu terus mencuat di kepalanya, mencari jawaban yang paling tepat yang bisa Gavi lakukan.
Rasanya Gavi, ingin berlari ke arah keduanya mengonfirmasi semua hal yang di dengarnya. Namun, di saat yang bersamaan tubuhnya lemas membuat ia tidak memiliki tenaga untuk beranjak dari tempatnya. Semua perkataan itu terasa memukul dan menghujamnya dengan sangat keras.
###
Sudah jam tujuh malam, Gista tetap berdiri di depan jendela kamarnya. Menunggu, kedatangan Gavi yang hari sebelumnya mengajak ia berkeliling kota.
Penampilan nya sudah rapih dan begitu cantik. Dengan sedikit riasan di wajahnya, Ia tetap menunggu Gavi dengan kesabaran penuh. Berharap tiket izin yang di berikan ibunya tidak sia-sia.
Namun, sudah tiga jam berlalu. Laki-laki itu tidak kunjung datang, bahkan setiap pesan yang di Gista kirimkan tak kunjung di balasnya. Menimbulkan pikiran liar yang mulai bersahutan di kepalanya.
Gista menghela nafas kasar, kecewa dengan sikap Gavi yang tidak bisa memenuhi janjinya.
Apapun yang terjadi Gavi tetap harus menghubunginya, agar Gista tidak terus berharap dan menunggunya tanpa kepastian.
**
Gavi yang masih tenggelam dalam kebingungan nya sendiri. Apa yang dirasakannya mendorong Gavi untuk pergi ke rumah sakit, melakukan pemeriksaan secara mandiri, sembari membawa obat-obatan yang selama ini di minumnya. Selama ini, ia mengetahui itu hanya sebagai suplemen pendamping saja.
Kedatangannya juga memiliki harapan bagi Gavi agar bisa memuaskan rasa ingin tahunya.
Gavi mengeluarkan nafas kasar, mengumpulkan keberanian untuk keluar dari dalam mobilnya.