“Lo ngga lagi bohongin gue kan Gav?” tanya Zoya, mempertanyakan kebenaran cerita yang di sampaikan Gavi.
“Buat apa gue bohongin Lo?” ujar Gavi balik bertanya.
“Yaudah kasih ke gue rekaman dashboard. Pasti, ada kan?” tanya Zoya, ingin memastikan.
Gavi menelan ludahnya, bola matanya berkeliaran mencari jawaban.
“Ngga ada Zoy, Rekaman dashboardnya mati. Kayanya papa lupa masukinnya lagi deh,” jawab Gavi sembari memberi alasan. Ia tidak mungkin memberikannya, karena apa yang ia ceritakan tidak pernah terjadi.
Zoya menatapnya, tidak mungkin percaya semudah itu.
“Bohong, pasti lo yang hilangkan barang buktinya kan?” tanya Zoya terus menuduhnya.
“Ngga mungkin lah,” bantah Gavi, cepat.
“Mungkin-,mungkin aja. Kan gue ngga ada disana, jadi gue ngga bisa percaya ke lo semudah itu Gav.”
“Semua tentang lo tuh gue udah khatam,” terus Zoya, mengingatkan Gavi tidak akan bisa membodohinya.
“Terserah lo!” balas Gavi.
“Yaudah kasih tahu gue, siapa orang yang udah lo tabrak itu.”
“Biar gue, yang minta maaf karena udah biarin anak di bawah umur ini nyetir sendirian,” ujar Zoya.
“Eh, gue udah legal ya. Udah punya sim juga!” protes Gavi.
“Lo, mau ketemu orang itu? Ayo, gue antar sekarang,” lanjut Gavi, menantangnya.
“Kalau lo minta nomor hpnya, gue ngga ada. Kenapa? karena hp gue kan mati!” timpalnya.
Melihat kesungguhan yang di perlihatkan anak itu, membuat Zoya tidak bisa terus menuduhnya, dan berakhir untuk mempercayainya saja.
Namun, pertanyaan lain masuk ke dalam kepalanya.
“Jadi, ini alasan kenapa Gavi terlihat sangat murung kemarin? pasti rasa bersalah yang di rasakannya sangat mengganggunya.”
“Jika hal itu benar terjadi, bukankah kedatangan Gavi tadi malam untuk meminta pertolongannya?”
“Seandainya, ia bisa meluangkn waktunya sebentar saja. Pasti, Gavi tidak akan merasa bingung dan mencoba menyelesaikan semuanya sendirian,” gumam Zoya.
Mendengar apa yang di lalui anak itu, menimbulkan rasa penyesalan di hati Zoya. Ia tidak tahu hari berat yang di laluinya dan malah menuduhnya dengan hal-hal yang tidak-tidak.