Death in Babylon, Love in Istanbul

Bentang Pustaka
Chapter #1

Awal Kisah Kebahagiaan Setelah Penderitaan

Aku tidak berada di dalam waktu,

Juga tidak sepenuhnya di luar waktu.

Utuh, dalam aliran Tak Terputus

momen yang berkepanjangan.

A.H. Tanpınar

Cahaya menjalar ke dalam perpustakaan Akademi Sains. Bangunan itu tampak seperti basilika kuno yang menjulang di atas Sungai Tigris. Setiap kali perpustakaan diguncang tembakan meriam, jantung lelaki itu serasa berhenti berdetak. Dia tidak begitu khawatir terhipnotis oleh irama rebana yang ditabuh di sepanjang tembok kota yang dipenuhi orang; dia lebih mengkhawatirkan perubahan yang melingkupi kota. Namun, dia menahan dorongan untuk pergi ke luar dan menutup gerbang-gerbang perpustakaan di belakangnya ketika lelaki bungkuk buta itu kembali dengan membawa buku-buku terlarang. Pustakawan tersebut baru bersedia pergi ke ruang bawah tanah untuk mengambil buku-buku itu setelah banyak dibujuk dan disanjung. Untungnya orang Asyur tua ini—ahli sejarah Kasdim dan Asyur—tidak terlalu bergairah dengan kedatangan Sultan Ottoman, Sulaiman sang Pemberi Hukum4, ke Bagdad, dan hanya batuk terputus-putus sambil bergumam, “Apa yang harus terjadi akan terjadi dan apa yang dinanti akan datang. Apa yang lahir hari ini pasti kelak akan mati.”

Lalu, dia bertanya, “Kau mau buku-buku ini atau hendak pergi menonton parade kuda Sultan seperti salah seorang pedagang kurma dari Basra itu?”

Ternyata ini pertanyaan yang benar-benar sulit bagi Hilleli Mehmet Efendi, lelaki berusia 50-an tahun. Haruskah dia menyaksikan kedatangan Sultan ke kota seperti sebagian besar orang lainnya? Dilema ini mungkin tidak akan muncul jika pustakawan tersebut tidak memicunya. Kini dia merasa seakan-akan pemandangan yang didahului tembakan meriam Sultan merupakan adegan yang patut disaksikan. Namun, dia merindukan kunjungan penuh khayalan ke ranah kata-kata di antara reruntuhan Menara Babilonia, tempat dia kehilangan kekasih masa kecil. Sejenak dia merasa pustakawan itu bahkan bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu deras dan melihat kerut-kerut yang terukir di keningnya akibat dilema antara benak dan hatinya. “Buku-buku itu!” dia berseru.

“Kalau begitu, pelajarilah hingga cahaya matahari masuk lewat jendela ini,” pesan pustakawan itu sambil berbalik dengan langkah tegas untuk menutup pintu dari dalam. Dia meletakkan bundelan-bundelan itu di atas selimut di samping tungku perapian, seakan-akan dia bisa melihat. “Saat itulah pasukan Sultan akan masuk kemari dan memegang kendali.” Seiring perkataan ini, dia menunjuk salah satu jendela kaca patri di bawah kubah dan tidak mengalihkan pandangan, seakan-akan mengawasi ke mana dia melangkah.

Mehmet Efendi membuka bundelan kulit pertama dengan antusias: bundelan itu mirip kantong yang dibawa para penunggang kuda di sirkus. Beberapa gulungan kertas kulit bergulir keluar. Ini serupa dengan gulungan-gulungan yang dimasukkan ke sejumlah tong besar oleh para pendeta Kristen awal yang harus meninggalkan Yerusalem saat penjarahan pada 70 Masehi. Hanya saja gulungan-gulungan ini dipenuhi tulisan yang tidak dikenal Mehmet Efendi.

“Kurasa lelaki buta itu mengambil gulungan dari peti yang keliru atau mungkin dia salah menghitung lorongnya,” katanya kepada diri sendiri. Semua gulungan itu sama jenisnya: memiliki gambar salib dan bayi Yesus dalam gendongan Maria, ibunya. Seandainya, ketika meletakkan dan mengikatnya dalam bundelan kulit, Mehmet Efendi tahu bahwa gulungan-gulungan itu berisikan sekitar 100 logia (kumpulan perkataan Kristus yang tidak ada dalam Injil) yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan Aramaik oleh biarawan-biarawan yang hidup di tengah gurun, kemungkinan besar dia tidak akan menghabiskan sisa hidup dengan menggumuli obat-obatan atau puisi, tetapi teologi. Dia pasti akan membaktikan sisa hidupnya untuk mengungkap misteri tanah yang terletak di antara dua sungai suci, terutama jika tahu bahwa dirinya memegang perkamen yang menjelaskan ikan yang dibeli oleh Santo Agustinus dari Ostia dan bahwa kalimat-kalimat yang tertulis di sana adalah bait-bait membingungkan yang diambil dari Injil Santo Tomas ….

Bundelan kulit kedua dipenuhi berkas yang bertumpuk secara acak-acakan. Di dalam setiap berkas terdapat risalah sepanjang 20 atau 24 halaman yang dijahit menjadi satu; pada beberapa halaman terdapat lukisan perempuan dan lelaki telanjang yang digambar dengan oker dan juga gambar-gambar anatomi tubuh manusia, diagram-diagram mengenai wadah, teko, bejana, dan metode penyulingan primitif, serangkaian botol obat, irisan melintang daun berbagai tanaman obat, serat-serat akar, dan sketsa beragam burung dan serangga. Ini jelas sebagian dari informasi yang dicarinya. Setidaknya pustakawan itu benar berkaitan dengan berkas-berkas ini.

Akan tetapi, ketika mulai membaca anotasi yang ditulis oleh seseorang dalam bahasa Arab, barulah Mehmet Efendi sadar bahwa ia sedang mencengkeram harta karun. Risalah Demam Kuning yang Diperoleh Ptolemy I Soter dari Perpustakaan Kerajaan Aleksandria, Risalah Penyembuhan Ibnu Sina tentang Kehidupan Embrio di Rahim Ibunya, Risalah tentang Sirop yang Diperoleh dari Akar Tanaman di Serapaeum dan Metode-Metode Pengobatan, Risalah Plato mengenai Roh dan Kematian. Inilah bundelan buku yang diambil secara diam-diam dari Perpustakaan Besar Aleksandria yang dibakar oleh para pendeta dan Patriark Romawi tepat satu milenium silam dengan dalih kemusyrikan dan paganisme. Inilah manuskrip-manuskrip tentang pengobatan dan filsafat yang kemudian dikembangkan oleh ilmuwan Muslim.

Bundelan terakhir hanya berisikan dua berkas. Salah satunya tentang penjinakan dan pemeliharaan kuda serta penyakit dan pengobatan unta dan hewan-hewan gurun; yang satu lagi menceritakan sejarah Bagdad, kisah Empat Puluh Pencuri, dan perampokan-perampokan kafilah yang terkenal. Pada bagian akhirnya terdapat satu bab dari Kisah Seribu Satu Malam, dan kesemuanya ini ditulis di atas papirus Mesir.

Karena pustakawan buta itu jelas sudah hafal dengan nama dan lokasi setiap jenis bundelan, Hilleli Mehmet Efendi hendak memberitahunya bahwa beberapa bukanlah buku yang dimintanya dan mungkin pustakawan itu mencari di rak yang keliru. Namun, kemudian dia berpikir pustakawan itu telah mengeluarkan bundelan-bundelan ini dari peti dengan susah payah. Juga, berdasarkan suara-suara yang berasal dari luar, sebentar lagi kepala penjaga istana sang Pemberi Hukum akan muncul sehingga dia berubah pikiran.

Mehmet Efendi membuka kembali bundelan kedua dan mulai menelaah metode-metode kuno perawatan medis untuk buku berjudul Kesehatan dan Penyakit yang hendak ditulisnya dalam bahasa Persia. Dia menganalisis dan menyalin diagram anatomi manusia satu demi satu. Karena merasa pustakawan itu mendengarkan setiap gerakannya dan bahkan sengaja batuk ketika dia membuka halaman dengan sedikit kasar, Mehmet Efendi menganggap lelaki tua itu lebih efektif dalam tugasnya daripada seseorang yang terus mengarahkan mata lekat-lekat pada pembaca. Dia merasa malu karena berpikir hendak menyelipkan salah satu buku ke balik jubah dan membawanya pergi.

Buku yang diincarnya memiliki stempel paling kuno Perpustakaan Kerajaan Aleksandria. Stempel itu diukirkan pada silinder lempung, kemudian ditekankan ke papirus itu dengan gerakan bergulir. Mehmet Efendi bisa melihat stempel itu milik perpustakaan pertama yang terbakar habis gara-gara ketidakacuhan Cleopatra pada saat berlangsung pemberontakan ketika Julius Caesar—yang mengubah Negara Romawi menjadi kerajaan—mencapai Aleksandria setelah mengejar dan mengalahkan Pompei. “‘Risalah tentang Diskusi-Diskusi antara Filsuf Phythagoras dan Thales’. Oh! Seandainya saja aku bisa membaca tulisan ini!” desahnya. Ketika membalik halaman-halaman itu, dia bertanya-tanya bagaimana mungkin buku tersebut selamat dari kebakaran yang memaksa sejarah sains dimulai kembali dari kekosongan. Tak perlu waktu lama baginya untuk menemukan jawaban.

Ini pasti salah satu dari 200 ribu buku yang dibawa Mark Anthony dari Pergamon, pikir Fuzuli Mehmet Bey. Dia mulai membelai buku itu seperti lelaki yang menyentuh kekasih lembutnya, dengan perlahan dan gembira mengusap debu abad-abad agung panjang yang mendahului sejarah, mencium sampulnya, dan menunduk memandangi halaman-halamannya.

§§§

Ode penaklukan disiarkan dari semua menara masjid kota, menyatakan bahwa Sultan hendak memasuki wilayah tambahannya yang terbaru. Penarik tali lonceng dari gereja Asyur dan Romawi juga membunyikan lonceng mereka sekuat tenaga, seakan-akan bersaing dengan para juru siar kota dalam kegembiraan. Semua orang, termasuk kaum Yahudi dari Pantai Timur, berkumpul di alun-alun Masjid Besar al-Mansur, Masjid Besar Taq-i Kisra, Makam Zubaidah, dan Madrasah Mustansiriya di sepanjang Sungai Tigris dan turut serta dalam kemeriahan berlebihan yang menandai akhir pemerintahan panjang dan lalim Tahmasp I dan Dinasti Safavid.

Kisahnya selalu sama: penguasa baru meminta rakyat agar menampik penguasa terdahulu dan mengkritiknya tanpa kenal ampun. Mereka yang kemarin bersikap sebagai penduduk asli, hari ini berperilaku seakan-akan sedang memasuki kota yang baru saja ditaklukkan. Mereka bergerombol di jalan dan alun-alun kota, membentuk paduan suara yang mengutuk Tahmasp dan menghujani Sultan Ottoman dengan pujian, seolah mereka telah memujanya selama bertahun-tahun. Namun, kerumunan massa paling besar berkumpul di sekitar pusat Islam Sunni pada saat itu di Bagdad Shiite—makam Abu Hanifah.

Dari sini hingga ke bantaran timur Sungai Tigris dan menuju jalan masuk Gerbang Tabriz, rakyat dari segala lapisan, termasuk para pengemis yang berharap mendapat bagian dari emas yang akan dibagikan oleh Sultan, berderet membentuk barisan dan meneriakkan slogan-slogan klise, seolah membacakan doa. Setelah upacara resmi, ketika Gubernur Safavid, Tekkelu Khan, menyerahkan kota kepada Ibrahim Paşa, kerumunan orang semakin membesar dan terus merayakan sepanjang malam. Sebagian besar dari mereka yang tetap berada di alun-alun hingga fajar adalah penghuni gurun, penjahat, dan buronan yang berkeliaran di kota untuk merampok dan menjarah, seperti serigala yang memburu domba.

Kepala janissary (pasukan tentara sultan) menguasai keempat gerbang dengan satu batalion pasukan dan memerintahkan para juru siar untuk mewakilinya mengumumkan pesan yang jelas, “Aku akan memenggal kepala siapa pun yang mengambil sesuatu, walau hanya batu, tanpa seizinku.” Jadi, bajingan-bajingan itu tidak berani berbuat macam-macam. Kau bisa mendengar mereka menggeram, pujian mereka bagi sang Pemberi Hukum terdengar semakin lirih.

Lihat selengkapnya