Lihat negeri orang Kasdim! Bangsa itulah yang melakukannya, bukan orang Asyur. Mereka telah menyerahkan Tirus kepada binatang-binatang gurun, mereka telah mendirikan menara-menara pengepungan dan telah meratakan puri-puri kota itu dan membuat kota itu menjadi reruntuhan.
Yesaya 23:13
Penjaga pintu Akademi Sains Bagdad yang menjengkelkan itu berujar keheranan, “Tuan Besar, sudah tujuh hari semenjak pustakawan terhormat kami—dan sayalah saksinya bahwa dia mukmin sejati—ditemukan diracun pada malam para tentara sang Pemberi Hukum datang ke perpustakaan. Sejauh ini, Andalah orang keenam yang menanyakan beliau.” Seandainya, pada pagi ketika mendengar kata-kata ini, Fuzuli bisa mengatasi dorongan untuk bertemu sekali lagi dengan penyair-penyair dari Istanbul, dia pasti sudah kembali ke Hilla dan menghabiskan sisa hidupnya dengan berupaya melupakan apa yang dialaminya.
Akan tetapi, bukan itu yang terjadi. Dia menyerah pada keinginan tak terbendung dari dalam dirinya dan mengingat wajah cerah pustakawan itu, matanya yang tidak bisa melihat, dan kearifannya. Mereka telah mengalami saat-saat menyenangkan bersama atau, lebih tepatnya, pustakawan itu terus-menerus membantunya dan cukup bersahabat sehingga Fuzuli tidak merindukan rumah. Pustakawan itu berbagi makanan, menawarkan kopinya, dan menuai kepercayaan Fuzuli dengan menyuarakan kerinduannya terhadap rumah ketika mereka membicarakan istri dan anak-anak. Dia tahu banyak hal dan hidup di dunia dengan sejenis keluhurannya sendiri. Dia memiliki cita rasa tinggi dan gemar menyenangkan orang lain. Dia sangat bermurah hati, mengingat upahnya yang sedikit.
Setelah mendengar kabar kematian lelaki tua itu, Fuzuli merenungkan sejumlah pertimbangan sebelum memutuskan untuk kembali ke pemondokan dan meneliti kembali belatinya. Pertama-tama, pustakawan itu tidak diracun seperti kata penjaga pintu, tetapi meneguk racun di dalam cincinnya. Fuzuli menyesal karena telah dengan naifnya menganggap lelaki itu kecanduan obat. Jadi, mengapa dia mengakhiri hidupnya sendiri? Jika dia tidak menentang identitas Ottoman baru di Bagdad, kematiannya berselubung misteri. Mau tak mau Fuzuli menduga mereka yang datang menanyakan pustakawan itu pasti memburu belati. Dia dicekam ketakutan. Mungkin inilah sebabnya dia merasa perlu meneliti kembali belati itu; setidaknya ke sanalah pikiran menuntunnya.
Kini dia menggenggam belati itu dengan dua tangan: benda ini tidak menyerupai belati tanduk domba jantan sederhana yang digantungkan di ikat pinggang oleh kaum lelaki dari Karbala untuk melengkapi busana tradisionalnya. Jelas belati ini punya nilai antik: pembuat pedang di daerah ini tak lagi menempa senjata semacam itu. Mungkin ini karya salah seorang pembuat pedang tua yang menciptakan benda langka berhias permata tersebut sebagai hadiah untuk para Shah Persia.
Pekerjaan tangan dan ornamennya cukup unik. Pengamatan lebih cermat terhadap relief yang terukir pada belati mengungkapkan bahwa itu gambar tangan kanan dengan kelingking dan jari manis terlipat, sedangkan jari tengah dan telunjuknya disatukan dan terentang. Dia tidak memperhatikan hal ini sebelumnya. Ini menyimbolkan apa? Mungkinkah ini tanda kesukuan yang digunakan oleh orang Arab Badui? Atau, apakah ini menandakan sesuatu? Dia belum pernah menemui lambang atau emblem semacam itu. Pertanyaan-pertanyaan ini juga berlaku untuk bentuk lain pada gagangnya—kepala ular bertanduk dua.
Maka, dimulailah hari yang harus dilewatinya dengan ketakutan terhadap ketukan di pintu. Apa yang disiapkan takdir untuknya? Seandainya pustakawan tua tersebut tidak bersikap sebaik itu terhadapnya, dia hanya akan berkata, “Persetan dengannya,” lalu pergi menempuh jalannya sendiri. Dia punya keluarga yang harus diurus, riset yang harus dikerjakan, dan buku-buku yang harus ditulis, dan semua itu menantinya di Hilla. “Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan belati ini,” katanya terus-menerus kepada diri sendiri. Namun, dia teringat kata-kata terakhir pustakawan itu, “Lindungi kepercayaan ini dan jangan letakkan di tangan yang keliru.”
Kini dia ingat: seiring kata-kata ini, pustakawan tersebut meletakkan tangan di bahu Fuzuli dan melipat jemarinya, persis seperti dalam relief. Dia menyimpulkan bahwa itu tanda persahabatan dan kepercayaan. Lalu, pikirannya beralih pada cara memenuhi keinginan terakhir si lelaki tua: apa yang dimaksudkannya dengan tujuh rahasia sejati?
Bagaimana jika aku melepaskan batu-batu permata ini dari gagangnya dan mengubur belati tersebut di tempat yang tak diketahui? Aku akan terbebas dari benda itu dan aku juga bisa mencegahnya agar tidak jatuh ke tangan yang keliru, pikirnya. Batu-batu itu tidak melekat, tetapi rasanya juga tidak mudah dilepaskan. Dia meneliti setiap permata satu demi satu dan mencoba mengelompokkan mereka berdasarkan bentuknya, tetapi sia-sia. Dia mencoba mencungkil kerangka-kerangkanya dengan pisau berbentuk daun dedalu yang digunakannya untuk memotong kertas di rumah. Namun, dia gagal melonggarkan sebutir pun permata. Walaupun berdenting, tak satu pun permata bisa dilepaskan.
“Ini baja cetakan yang sangat keras; pasti banyak air digunakan ketika membuat belati ini,” kata Fuzuli kepada diri sendiri. Dia menekan sekuat tenaga ketika mencoba menakar seberapa kuatnya batu-batu itu. Lalu, dia menekan semua batu sekaligus di antara kedua telapak tangannya. Belati itu terlepas sendiri dari gagangnya dan memelesat ke dinding seberang, menciptakan suara logam berdenting. Fuzuli menjatuhkan kedua lengannya dengan ketakutan sekaligus kegirangan, lalu menggumamkan beberapa doa untuk perlindungan. Dia tidak ingat jantungnya pernah berpacu dalam kepanikan semacam itu sebelumnya. Dia ngeri ketika membayangkan belati di tangannya adalah senjata pembunuh, alih-alih semacam aksesori atau hiasan tradisional.
Belati itu menjanjikan masalah. “Ya, ya, aku harus menyingkirkan benda ini secepat mungkin,” ulang Fuzuli kepada diri sendiri. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Setelah waktu yang terasa lama, pandangannya tertarik pada gagang yang tergeletak di tempat belati itu terjatuh. Dari bagian dasarnya, tali saffian kulit lembut berwarna sawo matang mengintip keluar. Tali itu tergulung dan tampaknya setengah hasta panjangnya. Tali itu digunting menyerong, seperti sepotong baklava yang agak panjang, dan memiliki tanda-tanda yang identik dengan gagang belati dan tampaknya diukir secara acak. Fuzuli memungutnya dengan gentar dan mulai menelitinya secara saksama.
“Pasti rahasianya tertulis di kulit ini,” simpul Fuzuli ketika denyut nadinya melonjak dan tangannya mulai gemetar. Mungkin dia harus mengunjungi berbagai perpustakaan sekali lagi untuk memahami apa arti semua ini. Sementara waktu, dia memutuskan untuk menyalin tanda-tanda itu, seolah membuat gambar baru.
“Ini pasti sebuah kode,” gumamnya ketika mengambil beberapa perkamen dari bundelan tempat menyimpan bermacam kesimpulan riset. Dia meletakkan tali kulit itu, siap untuk menyalin huruf-hurufnya. Namun, apa yang diungkapkan kode itu? Apa arti semua angka dan huruf ini? Dia bimbang, dicekam kebingungan, hingga merasakan benaknya kelelahan.
Seandainya sanggup menanggulangi kecemasannya, mungkin Fuzuli bisa berpikir lebih jernih. Lalu, dia mungkin membelitkan tali diagonal itu mengitari garis-garis spiral belati dan menemukan rahasia besar pendeta bijak Akeldan dan Perhimpunan Babilonia. Namun, sayangnya, karena menganggap akan menjerumuskannya ke dalam masalah, dia memilih untuk menguburkan belati itu di bawah pohon mulberi di pekarangan madrasah pada tengah malam. Sebelum melakukan hal itu, dia menyatukan dan menyarungkan kembali belati tersebut, sedangkan talinya dilapiskan ke sisi bagian dalam tali botol air miliknya. Pada hari terakhir di Bagdad, dia berencana menguburkan perkamen yang ditulisinya dengan salinan tanda-tanda itu di samping jenazah pustakawan, yang dikebumikan di pemakaman di luar tembok kota. Dengan cara ini, dia merasa bisa mengembalikan belati yang dipercayakan kepadanya itu kepada pemilik sahnya dan melenyapkan benda tersebut dari pikiran untuk selamanya.
§§§
Jam demi jam berlalu, tetapi Fuzuli masih tidak bisa mengatasi rasa penasaran yang mendera. Huruf-huruf apakah itu? Menyingkirkan teka-teki dengan menguburkannya mungkin akan membuat dia diusik keraguan seumur hidup. Bagaimanapun, menghabiskan beberapa hari lagi untuk melakukan riset di perpustakaan Akademi Sains mungkin bukan gagasan yang buruk.