"Hai."
"Kriiing!!!"
Lagi, hari yang sama terulang kembali.
Aku selalu terbangun dari mimpiku saat jam weker tua di samping tempat tidurku berdering tepat pukul 07.00 pagi.
Kamarku selalu gelap, meski diluar sinar matahari berkeliaran dimana-mana.
Berkeliaran di atas dunia yang sekarat dan hampir mati ini. Dalam hal ini, cahaya tidak lebih dari sekedar kebohongan bagi semua mata yang melihatnya.
Aku membuka tirai kelabuku dan menunjukan wajah datar dan murungku kepada dunia yang berantakan.
Tampak ada banyak sekali kekacauan sejauh mata memandang. Bunyi klakson dimana-mana, adu mulut antar pengguna jalan, pencopet yang melarikan diri dari masa serta penipu yang sedang memainkan trik murahannya.
Semua tercampur dengan sempurna dalam sebuah kota yang bernama, Utopia.
Sayang sekali, tapi kota busuk ini lebih pantas disebut sebagai sebuah kuburan Distopia yang terkutuk. Sebuah Wonderland yang dibangun dengan kebohongan, yang kemudian runtuh dan tenggelam dalam bayangan.
Menghilang dari peradaban, kota ini terisolasi dan terjebak dalam kepungan gurun tandus dan gersang, sumber dari sebuah kesengsaraan.
Bukan hanya itu saja, gurun tandus ini bukan sebuah kehampaan yang tak terbatas, sumber kesengsaraan itu juga mempunyai akhir di ujungnya yang sayangnya langsung disambut dengan gelombang ombak keputusasaan dari sebuah lautan yang mematikan di ujung sana.
Kota terkutuk ini benar-benar terisolasi sepenuhnya dari sebuah harapan.
Seperti biasa, tepat setelah aku terbangun dari mimpi-mimpi anehku dan setelah menyaksikan berbagai adegan kekerasan dari balik jendela kacaku, aku pergi mandi, mengguyur tubuh kurusku dengan berondongan air dingin yang terjun bebas dari dalam shower, menggosok gigi-gigi putih bersihku, mencuci rambut penuh ubanku, lalu berjalan keluar dari kamar mandi sempit itu menuju ke sebuah ruangan dapur yang jelek di samping kamar tidurku.
Aku menyiapkan sarapan pagi sederhanaku sendiri seperti biasa, semug kopi hitam pekat ditambah dengan sepiring roti tawar panggang yang diberi sedikit sentuhan dari rasa manis selai strawberry.
"Krauk."
"Gluk."
"Aaahh ...."
Sungguh sarapan pagi yang menyenangkan dan tidak pernah membosankan, setidaknya untuk pria kurus ini.
" ... sebuah perampokan terjadi ... bentrokan antar warga di distrik ... seorang gadis ditemukan tewas dalam keadaan tanpa busana ...."
Membosankan, selalu saja berita yang sama setiap hari, perampokan toko-toko kecil di pinggiran kota, kerusuhan antar bocah karena hal-hal sepeleh, misalnya saling memandang satu sama lain, pemerkosaan dan pembunuhan gadis-gadis tak berdosa di ujung gang yang sepi dan gelap, mungkin tidak semua tanpa dosa, dan berbagai aksi kriminal dengan skala kecil hingga menenggah, mungkin beberapa besar, yang terjadi di pinggiran kota penuh dosa itu, yang berdiri dengan angkuhnya dengan gedung-gedung pencakar langitnya bersama dengan sebuah patung sesosok malaikat berukuran raksasa, yang terbuat dari berlian, yang menjulang paling tinggi di pusat kota, di atas sebuah bukit, yang dihuni oleh berbagai jenis flora dan fauna di dalamnya.
Tidak pernah ada berita dari kawasan elit yang dikuasai oleh gerombolan para pengerat dengan perut-perut buncit yang menjijikan itu, kecuali beberapa sandiwara yang sudah mereka persiapkan dengan skenario klise sebelumnya.
Aku tidak yakin kapan sebenarnya mimpi buruk ini dimulai, tapi sepertinya aku, kami, sudah terbiasa dengan kematian sehari-hari dalam neraka busuk ini.
Setelah melakukan sebuah pembukaan, yang bagiku tidak membosankan, tapi sebenarnya sangat membosankan, itu, seperti biasa aku pergi keluar dari apartemen kumuhku berjalan menuju sebuah dunia yang sangat bebas dan liar itu.
"Brakkk!!!"
"Sial."
Baru saja aku melangkahkan satu kaki kurusku pada trotoar rusak itu, sebuah mobil sport berwarna biru melaju dengan sangat cepat tanpa terkendali hingga mobil itu benar-benar berhenti sepenuhnya setelah menabrak seorang wanita dan sebuah mobil yang baru saja diparkirkannya di depan apartemen jelekku.