Debar Hujan

Annisa fathonah
Chapter #1

Satu

Lelaki itu memandang seklias lanskap kota yang mulai gelap. Hujan baru saja turun. Matahari begitu saja lenyap ditelan mendung. Padahal jarum jam di lengan kirinya baru menunjukkan pukul empat sore. Telapak tangannya sesekali menepuk-nepuk lengannya yang basah oleh tempias hujan. Dingin memburu menusuk sampai rusuk.

Musim hujan resmi datang awal Desember lalu. Tiba-tiba cuaca jadi tidak menentu. Siang hari terik panas, sore hujan deras. Atau hujan tak kunjung mereda sepanjang hari. Perempuan di sebelahnya mengamati sesekali. Kendati sering bersama, tidak pernah ada percakapan panjang yang tercipta. Laki-laki itu telalu memeluk kesunyian. Sementara bagi si perempuan, memulai adalah sebuah hal yang tidak pernah mudah.

Keduanya memeluk sunyi sendiri-sendiri. Senandung hujan menari-nari, mengetuk-ketuk atap halte. Suasana sekitaran riuh oleh gemuruh air yang jatuh. Mata perempuan itu terus mengamati. Setelan kemeja biru langit dan celana panjang hitam yang rapi. Rambut yang disisir klimis, wajah yang dalam dan sulit untuk ditebak. Serta pendar mata kopi yang pekat tapi sendu.

Namanya Aji. Anjasmara Sangaji. Hari-harinya tidak pernah mau berteman dengan keramaian. Dia selalu membagi tempat duduknya bersama sunyi. Seolah-olah sunyi adalah satu-satunya hal yang tidak pernah menyakiti.

Tiga bulan yang lalu mereka bertemu, menjadi teman sekantor bukan alasan Aji mengakrabi setiap orang. Termasuk Anggi, anak baru yang kini duduk berbagi kursi halte dengannya.

Jemari Anggi mengetuk kursi halte beberapa kali untuk mengusir sunyi dan perasaan canggung, diikuti tatapan ketidaksukaan Aji yang ditangkap olehnya usai beberapa kali ketukan. Perempuan itu lantas tersenyum canggung.

Sama-sama tidak merasa enak hati, keduanya akhirnya bertukar senyuman dengan tepaksa. Anggi lebih dulu menyapa meski dengan ketidak percayaan diri. Sekadar untuk membunuh gunung es yang menjulang tinggi menembus atap halte dan duduk di antara keduanya.

“Mas Aji sudah lama kerja di sini?”

Laki-laki itu mengangguk samar, “Lumayan.” lalu memalingkan pandangan ke arah jalanan yang mulai lengang oleh sebab hujan yang makin menderas. “Tahu namaku?”

Anggi mengangguk, “Pimpinan redaksi. Semua pasti tahu Mas Aji. Walaupun aku nggak kenal. Nggak papa, tahu nggak berarti harus kenal.” selorohnya sambil tersenyum.

Sihirnya membuat Aji tanpa sadar melengkungkan bibir. Dan suasana terasa lebih hangat daripada sekian menit yang lalu.

“Siapa namamu?” Aji tiba-tiba menoleh ke arahnya. Sendu mata kopinya begitu jelas ditangkap Anggi saat ini.

“Anggi,” balas Anggi gugup. Mendengar nama itu Aji mengangguk beberapa kali. “Mas Aji naik transportasi umum?” Anggi tiba-tiba termangu menyadari keadaan.

Laki-laki itu mengangguk, “Orang-orang ngeluh soal macet di mana-mana, tapi nggak nunjukin aksi apa-apa. Kalau perubahan besar dimulai dari hal-hal kecil, nggak ada salahnya satu dua orang sadar dan prihatin sama masalah ini. Walaupun pengaruhnya nggak dirasain sekarang. Siapa tahu, yang kecil-kecil ini agen pembawa perubahan nanti.”

Mata Anggi berbinar. Aji bukan cuma Aji yang dari luarnya terlihat begitu tenang dan berwibawa. Tapi juga isi kepalanya yang cuma bisa dikagumi tanpa bisa dijelaskan. Pantas saja selama ini Aji adalah buah bibir hampir seluruh karyawan perusahaan. Selain karena muda dan berjabatan tinggi, Aji juga punya banyak pertimbangan untuk dikagumi.

Beberapa menit, suasana kembali hening. Anggi kembali memainkan jemarinya, kali ini tanpa bersuara. Sementara Aji sibuk melamun panjang. Laki-laki itu memang tidak suka keramaian, tak mengerti banyak soal basa-basi dan kalimat berisi buang-buang waktu.

“Mas Aji pulang ke arah mana?” Anggi menatap wajah sendu Aji, berhenti sejenak di sana. Dan laki-laki itu melempar pandang ke jalanan karena merasa tak nyaman.

“Cibubur. Kamu?”

Anggi meringis kecil, “Kita setujuan ternyata.”

Mata Aji kemudian berbinar, “Kamu juga?”

Perempuan itu ikut mengangguk, tak bisa membendung perasaan bahagianya. Betapa tidak, laki-laki yang cuma bisa dipandangi di meja kerjanya kini duduk di sebelahnya. Lelaki yang biasanya tidak pernah bisa dipandangi sedekat ini, kini tampak begitu nyata. Dekat cuma beberapa sekat dari tempat duduknya.

“Jadi sejak kapan memutuskan naik transportasi umum, Mas?” tanya perempuan itu.

Aji menatap sejenak ke atap, mengingat sudah seberapa lama menanggalkan transportasi pribadi yang jarang sekali ia pakai. “Hampir dua tahun. Sesekali saja pakai punya sendiri.”

“Padahal pakai punya sendiri nggak harus kejar-kejaran sama waktu, berbagi bau keringat sama orang-orang, dan pastinya kalau pribadi jadi lebih VIP gitu.” gumam Anggi sembari membayangkan.

Aji tersenyum tenang, “Nggak gitu juga sih. Justru hal kaya gini perlu dirasain biar kita disiplin.”

Lihat selengkapnya