Matahari merah muda sudah meninggi. Hari ini ada meeting pagi. Anggi adalah anak magang baru tiga bulan masa percobaan. Bukan waktunya untuk sering terlambat, atau cuti tak berangkat kecuali mendesak dan karena sakit. Dengan lemas lunglai ia meraih tasnya. Berharap ada secuil harapan setelah keluar dari pintu rumah yang sejak kemarin tak punya kebahagiaan itu. Mbak Gendis belum datang. Ibu dan bapaknya sibuk menunggui di stasiun. Belum ada penjelasan detail perihal apa yang terjadi. Anggi berjalan keluar sambil memendam banyak pertanyaan tiada henti.
Di depan rumah, sebuah mobil sudah menunggu. Mobil limousin berplat Jakarta itu tampak baru saja datang. Anggi tercenung sebentar, siapa orang ini?
Langkahnya yang semakin dekat ditangkap oleh pengemudi mobil sedan itu. Kacanya terbuka separuh, seraut wajah menyumbul ke luar. Mendadak denyut jantung Anggi hampir berhenti. Semacam tak percaya pada apa yang ditangkap oleh matanya. Ini masih pagi, bukan waktunya untuk bermimpi kalau sudah pagi.
“Mas Aji?” sapa Anggi sambil terbata.
Laki-laki itu mengangguk, mengsiyaratkannya untuk masuk. “Di depan ya, jangan di belakang.”
Dengan ragu-ragu, diraihnya gagang pintu mobil itu. Lalu masuk dengan debar-debar hebat yang membuat telapak tangannya bergetar. “Kenapa serepot ini?”
Aji tersenyum sambil mengisyaratkan Anggi untuk segera memasang seatbeltnya. “Kalau searah, biar nggak bikin macet, sebaiknya barengan gini kan?”
Anggi lalu mengangguk. “Oh iya.”
Mobil hitam itu segera berjalan cepat membaur bersama kepadatan jalanan. Anggi masih canggung. Bayangannya masih berada di antara mimpi atau dunia nyata. Sesekali diperhatikannya wajah Aji yang serius mengemudi. Kadang, seisitimewa itu waktu berjalan tanpa pernah bisa ditebak-tebak, semua serba penuh kejutan.
------
Hening menyelimuti ruangan berukuran 4x4 meter persegi itu. Semua mata tertuju pada seraut wajah yang kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Gendis baru saja tiba dengan penerbangan pertama yang tiba di bandara Subuh tadi. Kondisinya memprihatinkan. Wajahnya lusuh, pandangannya kosong. Jiwanya teguncang hebat. Kini ia harus dirawat di pusat rehabilitasi. Gendis mengalami depresi serius. Ibunya terus menerus menyeka mata. Semua tertuju pada satu kesedihan. Entah sudah berapa lama semuanya terjadi sampai serumit ini.
Gendis adalah perempuan yang kuat. Selama ini, dia bersahabat dengan luka-luka dan kerasnya hidup. Dari semua saudara-saudaranya, Gendis yang paling tahu rasanya hidup tidak berada sebelum segalanya terasa cukup seperti hari ini.
Hari ini sebuah badai benar-benar telah merobohkan rumah tangganya hampir tak bersisa. Selama ini tak pernah ada sepatah katapun dari Gendis yang menceritakan rumah tangganya. Semua terlihat begitu baik dan bahagia. Entah sudah sejak kapan Gendis begitu tabah memeluk lukanya sampai hari ini tiba.
Segalanya benar-benar tenggelam. Senyumnya, tawa riang yang selalu ada di manapun Gendis berada. Atau suara lemah lembutnya pada siapa saja. Gendis benar-benar telah terbenam bersama sejuta kesedihan yang entah sudah berapa lama dipendamnya sendiri. Semuanya terasa gelap dari pandangan. Tidak lagi ada nyawa yang hidup dalam raga yang kini hancur lebur itu. Matanya yang bersinar kini meredup, pias tak berwarna.
Di ruangan itu beberapa mata menatapinya dengan nanar dan hening. Tak ada dalam bayangan sebelumnya menemukan anak gadis yang dulu manis dalam pangkuannya, berlari-lari dikepang dua, yang kini tak punya semangat lagi untuk melanjutkan hidup. Tak pernah terbesit di dalam benak mereka, kalau situasinya semenyedihkan ini jadinya.
----
Anggi yang baru saja menyelesaikan pekerjaan hari ini mulai berkemas. Wajahnya penuh cemas usai membaca pesan Ibu yang memohon untuk tidak lembur dan pulang malam. Kepalanya berbayang Gendis yang tadi pagi belum sempat ditemui. Setelah itu, Ibu mengirimkannya sebuah alamat. Rumah sakit jiwa, panti rehabilitasi. Entah apa yang sebetulnya terjadi, Ibu tidak pernah menjelaskan dengan detail. Semuanya serba penuh teka-teki.
Anggi berjalan dari koridor menuju ruang perawatan dengan perasaan berdebar. Kaki dan tangannya terasa kebas, napasnya memburu. Segera ingin cepat didapatkannya jawaban atas apa yang membayangi kepalanya itu. Apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba harus berada di rumah sakit ini.
Matanya sejenak berhenti pada seseorang yang duduk termenung sendirian. Di dalam mungkin terlalu gaduh bagi bocah kecil itu. Sepasang matanya yang polos sibuk memandangi dinding putih yang bisu.
Anggi lantas mendekat, duduk di sebelah bocah enam tahun itu dengan bisu. Tak ada kalimat basa-basi yang sejak tadi ia rancang sanggup keluar dari bibirnya. Lidahnya sempurna kelu mendapati wajah anak kecil yang tiba-tiba harus ikut terbawa permasalahan berat ini.
“Tante nggak ikut masuk?” suaranya yang lirih dari tubuhnya yang agak gempal itu menembus dingin dan sesaknya ruang tunggu rumah sakit.
Anggi menggeleng, “Mau di sini. Temenin Mas Katon. Gapapa kan?” Katon yang tidak terlalu mengerti yang terjadi itu mengangguk. “Kamu sudah makan?”
Lagi, Katon hanya mengangguk.
Anggi lantas duduk makin dekat, mengamati dengan cermat anak SD kelas satu itu. Lalu tersenyum sambil mengelus kepalanya. “Kamu kok gendutan, nggak jadi diet?”
Katon mengelus perutnya, “Habisnya sering laper.”
“Katanya mau ganteng kaya Papa.” tanya Anggi, dengan suara bernada gemetar. Anak kecil itu menatapnya, lama. Lalu diam saja.