Debar Hujan

Annisa fathonah
Chapter #3

TIGA

Bramasole mulai ramai pengunjung. Aji yang baru saja menyeruput cangkir kopinya kemudian memandangi Anggi yang sejak tadi terlihat gusar dan risau.

“Kamu ada sesuatu kah Nggi?”

Anggi yang terkejut dengan segera mengerjap dan meletakkan ponselnya di atas meja. “Nggak ada kok.”

Ditatapinya cangkir kopi milik Aji dengan cepat, Anggi kemudian menelisik. “Mas Aji suka espreso?”

“Siapa yang nggak suka sama espreso.”

Anggi menunjuk dirinya sendiri. “Pahit, terlalu kopi.”

“Meskipun begitu, seseorang tetap harus coba minum espresso, paling nggak, sekali seumur hidup.” Aji menatapnya sekilas, lalu melempar pandang ke arah lalu-lalang pengunjung lain.

“Kenapa begitu?”

“Espresso itu semestanya kopi, Nggi. Espreso menentukan cita rasa kopi-kopi turunannya. Seperti americano, kopi yang ada di cangkirmu.”

Anggi tampak mengangguk-angguk sedikit mengerti.

“Jadi, setiap kali minum kopi, selau espresso?”

Aji kemudian mengangguk, “Nggak selamanya, kadang-kadang aku pesan kopi lain.”

“Lalu jenis kopi apa lagi yang mengesankan?”

“Piccolo.” gumam Aji kemudian.

“Piccolo?”

“He.eh.” jawab Aji sambil mengangguk.

“Aku baru dengar sekarang.”

Sambil menyeruput kopinya, Aji kembali pada sebuah cerita perihal jenis kopi yang dia tahu. “Kedengarannya memang asing, ya?”

Anggi mengangguk seraya memerhatikan lawan bicaranya itu dengan serius.

“Piccolo itu seimbang. Kaya hidup, pasti butuhnya yang seimbang. Dan emang gitu, kita aja yang sering nggak terima.” ucap Aji diikuti tawa Anggi yang makin melebar.

“Kenapa ketawa?”

Anggi menggeleng, “Terus?”

Aji tak melanjutkan kalimatnya.

“Tahu nggak kenapa kafe ini namanya Bramasole?” tanya Anggi kemudian.

Aji sekilas mengamati papan bertuliskan nama kafe itu di sebelah pintu masuk. Kemudian menggeleng, “Apalah arti sebuah nama, sih Nggi?”

“Aku kelompok yang nggak sependapat sama keyakinan Shakespeare soal nama yang nggak punya arti itu. Nama itu seperti mantra dan doa.” gumam Anggi menjelaskan.

Aji menelaah sebentar, lantas menghela napasnya.

“Dulu aku sering bertanya, kenapa harus Anggi. Setelah dewasa, barulah aku tahu setiap nama disematkan dengan segala semoga di dalamnya. Tidakkah itu juga bisa disebut sebagai mantra-mantra?”

“Terus, kenapa harus Bramasole?”

Anggi melipat lengannya ke atas meja, lantas menyeruput americano yang asapnya masih mengepul di udara. Hujan baru saja turun, rintik-rintik, membuat senja tidak lagi terlihat kilau jingganya.

“Mas Aji suka senja nggak?”

“Pertanyaanku belum dijawab.”

“Ini berkaitan sama jawabannya.”

Aji kemudian mengangkat bahu, “Aku biasa aja.”

“Pernah nggak sih kepikiran kalau senja adalah waktu yang diciptakan buat mengenang kepergian matahari?”

“Matahari nggak perlu dikenang, mereka pergi buat kembali. Seseorang bilang, matahari selalu menepati janji, dia pergi, tapi pasti datang lagi.”

Anggi menatapnya sejenak sembari mengerutkan dahi. “Bagaimanapun, malam punya kesedihan tentang rindunya kepada matahari yang nggak akan pernah kesampaian. Itu kenapa, senja diciptakan.”

“Hubungannya sama Bramasole?”

Anggi menghela napas. Menatap langit yang mulai abu-abu dari sudut jendela.

“Tempat buat merindukan matahari.” gumamnya lembut diiringi rinai hujan yang perlahan jatuh meluruh ke bumi. Mata Aji mengikuti tatap mata Anggi. Titik-titik air yang makin deras itu kini sudah membasahi jalanan hingga atap-atap bangunan yang dilalui.

“Hujan.” gumamnya lirih.

Anggi mendongak menatapnya sejenak, “Tidakkah hujan punya nama berbeda di hati masing-masing orang?”

“Hujan punya nama yang sama, tapi barangkali artiannya saja yang berbeda.” gumam Aji menanggapi.

“Aku suka hujan.”

Lihat selengkapnya