O, alangkah malang nasib anak itu. Sudah berbadan kurus, terhina pula. Bukan oleh sesiapa di luar sana. Melainkan oleh seseorang yang seharusnya melindungi dan mendidiknya. Atau, adakah dunia ini sudah berbalik, Kawan? Atau, inikah yang namanya jaman edan? Seorang ayah tega menghajar anaknya sendiri. Duhai, di mana lagi peri kemanusiaan? Peri kebinatangan saja tak sampai separah itu. Manusia sudah melebihi binatangkah?
Hari ini seperti yang sudah, entah pasal apa anak itu dihajar lagi oleh ayahnya. Tak hanya dengan sebuah tamparan, juga tendangan yang membuat tubuh kurus itu terjajar ke rusuk rumah. Kupintakan sesiapa saja wajib menolongnya. Kuharapkan adalah seseorang yang berani meredam amarah seorang ayah seibarat gila.
Oalah, lihatlah perempuan yang bergegas itu. Kemarahan juga memancar dari raut wajahnya. Akankah dia menambahi nista anak itu? Kau tahu, Kawan, dia itu istri baru si ayah. Artinya, dia adalah ibu tiri si anak kurus. Lengkaplah pula derita membebatnya.
“Kataku, hentikan semua ini!” geram si perempuan. O, kita salah, Kawan. Aku lupa. Sebelumnya, meski cap ibu tiru itu sangat jelek, konon perempuan satu ini berbeda. Telah berulangkali dia menyelamatkan anak itu dari amukan ayahnya. Dan kali ini, dia ingin berbuat sama. Kau lihat, dia sengaja membawa sapu bergagang rotan, yang pasti sakit bukan kepalang apabila dihantamkan ke tulang punggung.
Kesempatan bagus. Larilah anak kurus. Larilah. Biarkan si ayah yang payah itu menceracau menahan amuk. Larilah sejauh dapat.
Hei, kita sebenarnya belum mengenal kawan yang satu ini: si anak kurus. Siapa namanya, berapa usianya, sudaranya, dan sekarang dia sudah kelas berapa.
Supaya terang bagimu, dengarlah baik-baik. Nama anak itu Kecik. Ya, tepat! Kau menebak bahwa nama itu hanya ujar-ujaran saja. Konon karena dia bertubuh kurus seperti dihimpit dua bukit, maka orang lebih senang memanggilnya demikian. Tak perlulah kuberitahu nama sebenarnya di sini. Karena kau tahu, apalah arti sebuah nama!
Usianya hampir lima belas tahun. Tapi sekarang dia tak lagi bersekolah. Setelah ibunya meninggal, praktis ayah yang pengamuk itu tak lagi mau menyekolahkan Kecik. Pun setelah menikah dengan si Lila, itulah nama panggilan ibu tiri si kecik, bukan amuknya berkurang, malahan bertambah tingkat demi tingkat. Entah setan apa yang bercokol di batok kepalanya.
Tapi usah risau, seperti yang telah diutarakan tadi, tentulah kita tak boleh bersyakwasangka bahwa si Lila itu yang mengobarkan amuk di dada ayah Kecik. Bukan, sama sekali bukan! Lila malahan sering menyelamatkan Kecik agar jangan lagi bernasib lebih naas, misalnya luka parah atau mati. Kasihan dia, ibarat sebatang kara, karena saudara pun tak punya.
Dalam pelariannya, Kecik akhirnya tersungkur di depan sebuah rumah semi permanen. Seorang lelaki dengan dada berbulu, gegas mendekatinya. Dia memapah anak itu masuk ke dalam rumah. Seorang perempuan berkulit terang, keluar membawa segelas air, baskom berisi es dan kain lap. Dia istri lelaki itu.
“Kau dihajar lagi?” Lelaki itu mengusap ujung bibir dan kulit wajah Kecik yang kebiru-biruan. Kecik mengangguk sambil mengaduh.
“Iya, Kyai! Siapa lagi pelakunya kalau bukan Boimin brengsek itu!” Lelaki itu dipanggilnya Kyai. Bukan berarti dia seorang kyai seperti ghalibya. Hanya gelar-gelaran saja. Dia paling senang menasihati orang dan berbincang tentang agama. Tapi menjalankan ibadah dia malas. Maka, orang-orang berseloroh memanggilnya Kyai. Entah kenapa, hingga sekarang nama itu begitu lekat di depan nama aslinya: Kyai Ali.
“Tak baik mengata-ngatai ayah sendiri! Berdosa!”
Kecik meneguk sedikit air di dalam gelas. Dia mengaduh. Perih sekali air mengalir di sela-sela bibirnya. Andai tubuhnya sebesar dan setinggi Boy (nama kerennya, karena nama asli si ayah adalah Boimin), sudah lama dia menghajar lelaki itu. Dia sebenarnya tak mau durhaka. Tapi bagaimana bisa tahan dengan perlakuan demikian?
“Ayah macam apa dia? Sudah kasar, tak pula peduli sekolahku. Aku hanya disekolahkan sampai kelas empat SD. Sekarang Kyai tahu kan kerjaku sehari-hari? Selain mengisi bak mandi dan mencuci piring, hampir setiap malam aku membersihkan lantai karena Boy selalu pulang dalam keadaan mabuk.” Hidung Kecik mengembang. Panggilan istri Kyai Ali agar mereka berdua makan siang, seakan panggilan surgawi. Tahu saja kalau orang lagi lapar berat!
Kecik duduk berseberangan dengan Kyai Ali. Istri Kyai tak ikut makan. Dia harus mengurusi bayinya yang tiba-tiba menangis. Sepasang suami-istri itu baru tiga bulan lebih dikarunia anak. Ya, cukup lama juga menunggu kehadirannya. Hampir duabelas tahun. Jadi, selama ini Kecik-lah yang mereka anggap sebagai penghibur lara. Entah setelah mempunyai anak, apakah mereka akan mendepak Kecik. Siapa yang bisa menebak?
“Sedap juga makanan Kyai siang ini. Ada ayam goreng, semur empela, sambal terasi, telor sambal. Boleh nambah ya?”
“Suka-sukamulah! Asal perutmu tak pecah saja. Apa mau diganti dengan pantat kuali?” Mereka tertawa. Sedikit hilang kegundahan Kecik.
“Ada acara apa hingga kita bisa makan besar begini?” Kecik mengekori Kyai. Telah bersinar matanya. Perutnya mengeras karena kenyang.
Kyai duduk di bale-bale teras. Rokok kretek dinyalakannya. Dia menghisap dalam-dalam, dan menghembuskannya sembari mendecak-decak. Mungkin ada serpihan daging menyempil di sela-sela giginya yang jarang.
“Acara karena aku mulai bekerja hari ini, Kecik!”
“Bekerja di mana, Kyai? Menjadi buruh angkut di penggilingan padi Juragan Arman? Nanti Kyai bertengkar pula dengannya pasal gaji kecil.”
“Taklah aku mau bekerja lagi dengannya. Aku mau ke Jakarta!”
Kecik menatap Kyai takjub. Dia berhenti memerhatikan anak-anak yang baru pulang sekolah. Dalam benaknya, Jakarta itu sangatlah besarnya. Amat ramai. Ibu tirinya, si Lila itu, pernah berjalan-jalan ke Jakarta. Hanya lima hari saja. Namun menceritakan kebanggaannya pergi ke kota besar itu, seolah dongeng si kancil dan buaya, yang selalu berulang-ulang dia ceritakan kepada Kecik.
“Wah, Kyai pasti akan kaya!”
Kyai Ali memukul pelan bahu Kecik. Katanya, “Kaya bagaimana, Kecik! Aku tetap pekerja kasar. Kau kenal Leman, orang kaya sekampung ini, kan?” Kecik mengangguk. “Nah, dia mengajakku bekerja di truk barangnya. Rencananya nanti malam aku dan kawan-kawan akan berangkat iring-iringan membawa beras milik Juragan Arman ke Jakarta.”
Kecik tak sadar menjerit sambil melompat berdiri. Kyai Ali tersentak, dan buru-buru mengelus dadanya.
“Maaf, Kyai. Ini karena pengaruh saking senangnya. Sejak kapan Kyai bisa menyopir? Sopir truk pula! Hahaha tak kusangka Kyai diam-diam bisa menyopir.”
“Taklah sampai sehebat itu. Kapan Kyai-mu ini bisa menyopir? Kau ini memang suka bermimpi! Aku hanya membantu-bantu saja. Istilahnya kernet, begitu.” Kecik mengangguk-angguk. “Kau kenal Sujak, kan?”
“Yang berjualan kerupuk di pasar kecamatan itu?”
“Bukan! Itu Sujak Gatal! Ini Sujak Pelor. Kau mengenalnya, bukan?”
Kecik bergidik. Dia teringat wajah seorang lelaki yang penuh bekas cakaran. Di bagian lengannya ada ceruk luka yang sudah lama sembuh. Kabarnya ditembak polisi, karena maling ayam di pasar kecamatan. Tapi karena tak ingin malu, dia sering gembar-gembor bahwa itu bekas terserempet peluru yang dilesakkan tentara Belanda. Hahaha, lucu! Dia hanya membual-bual. Jaman penjajahan Belanda, lelaki itu masih orok!
Begitupun, Kecik paling takut bertemu Sujak Pelor. Dulu ketika Boy berkelahi dengannya pasal lahan parkir di pasar, Kecik terkena sasaran. Dia kebetulan ke pasar bersama ayah Boy. Ayahnya itu kalah kuat, kemudian dijerembabkan Sujak Pelor ke selokan. Sebagai penuntasan amarahnya, dia mencekik Kecik, dan menghempaskannya ke lapak ikan.
“Kau takut?” Kecik menggeleng. Kyai Ali terbahak. “Sudahlah! Yang lalu biarlah berlalu. Dia bukanlah Sujak yang dulu. Sejak bekerja dengan Leman, dia berubah lebih baik.”
“Oh, begitu. Aku pulang dulu, Kyai. Kapan-kapan ajak aku naik truk, ya?” Kyai Ali menggangguk
Sekian jam kemudian, di sebuah rumah berdinding triplek, pertengkaran hebat terjadi antara Boy dengan Lila. Mereka memang sudah biasa seperti itu. Kalau tak bertengkar sehari saja, badan mereka pegal-pegal.
“Kau memang selalu membela anak itu. Harusnya kau biarkan saja dia kuhajar sampai mampus.”