Di perbatasan antara kampung dan jalan lintas provinsi, Kecik menunggu terkantuk-kantuk. Tadi sudah sempat dua kali dia tertidur lelap. Dan sekarang dia tak pasti apakah iring-iringan truk sudah lewat atau belum.
Dia sedih. Andaikata iring-iringan truk sudah lewat, berarti pupus sudah harapannya bertualang ke Jakarta. Apakah kemudian dia harus pulang menemui Lila dan si brengsek Boy? Oh, tidak! Pantang baginya menjilat ludah sendiri. Sekali meninggalkan rumah, tak boleh menoleh lagi, kecuali kelak berhasil di negeri orang dan pulang membawa nama yang harum.
Lebih baik dia menunggu bis yang menuju Jambi saja. Dia memiliki uang seribuan segumpal. Memang tak cukup untuk ongkos. Tapi kalau sudah tiba di Jambi, tak mungkin awak bis mengantarkannya lagi ke kampung. Paling dia dihadiahi sumpah-serapah atau tendangan di pantat. Kalau pun akhirnya dia terjebak tak mempunyai ongkos cukup, mudah-mudahan itu terjadi setelah sekian puluh kilometer dari kampung. Atau menjelang fajar. Dulu saat dia dan ibunya hendak ke Lampung, dan mereka menyetop bis persis tengah malam, awak bis tak menagih ongkos. Dia baru menagihnya sewaktu fajar. Mungkin tak enak mengganggu penumpang lain yang tidur, atau dia tak mau salah menghitung uang di tengah suasana yang gelap.
Kecik memutuskan berjalan sekitar duapuluh atau tigapuluh langkah yang berlawanan arah dengan arah ke Jakarta, sekadar meregangkan kaki. Mudah-mudahan saja ada bis yang lewat menuju Jambi. Kecik pernah mendengar cerita ibunya bahwa masih ada dua orang keluarga dari pihak ibunya yang tinggal di Jambi. Tentu kalau Kecik sudah tiba di sana, mudah-mudahan Tuhan mempertemukan mereka.
Tapi lamat derum mobil dari arah kampung, membuat Kecik berhenti di langkah kesepuluh. Dia melihat berpasang-pasang sinar lampu timbul-tenggelam di antara kebun karet. Tak salah lagi, itu rombongan Kyai Ali.
Dia memasang tatapan awas begitu truk yang pertama meraung-raung melalui tanjakan yang tersambung dengan jalan lintas provinsi. Ah, nomor berapa tadi plat mobilnya? Kecik lupa. Matanya berkunang-kunang disergap sinar yang terang itu. Beruntunglah teriakan memanggil namanya, menjawab segala kecemasan. Sebuah truk melambat. Pintu kabin terbuka. Sial! Kecik sudah menjauh sepuluh langkah dari posisi yang diperintahkan Kyai Ali. Meskipun sepuluh langkah tapi itu mengurangi kecepatannya mencapai truk itu.
Kecik berlari sekencang-kencangnya. Dia meraih sebelah tangan yang menjuntai di sela pintu truk. Dipegangnya erat-erat sambil menyentakkan badan naik ke atas. Tapi karena gugup, kakinya terpeleset di tangga. Untung saja tangan itu sigap menarik tubuh kurusnya masuk ke dalam kabin.
“Siapa dia!” suara Sujak menggelegar.
“Dialah yang mau ikut kita ke Jakarta,” jawab Kyai Ali dengan bibir bergetar. Dia ketakutan kalau-kalau tadi Kecik benar-benar jatuh ke dekat ban truk. Tamatlah riwayat anak yang sekian tahun disayanginya itu.
“Setan kau! Bukannya kau bilang perempuan?” Sujak memukul setir. Bunyi klakson di belakang, membuat dia kemudian mempercepat laju truk.
“Aku tak bilang perempuan.”
“Tapi ketika kutanya tadi, kau menjawab he-eh!”
“Kalau tak begitu, tak maulah Abang memperlambat laju mobil ini!”
“Pintar berkilah kau!” Dia menatap lurus ke depan. Kemudian dia berkata lagi. Kali ini kepada Kecik, “Namamu?”
“Kecik, Wak!”
“Jangan panggil aku Wak! Memangnya aku saudara ibumu! Panggil aku Abang!”
“Iya!” Kecik menggigil. Kyai Ali memberinya kain sarung sekadar menghalau dingin.
“Mau ikut ke Jakarta, ya?”
“Iya, Bang!”
“Ke Jakarta? Untuk apa?” Dia mengerem mendadak. Klakson yang dibunyikan lebih panjang, terdengar mengamuk di belakang. Sujak bersumpah-serapah sambil melajukan truk.
“Dia mau ikut bekerja dengan kita.” Kali ini Kyai Ali yang menjawab. Dia kasihan melihat Kecik tersudut.
“Kerja? Apa yang bisa dikerjakan anak kecil begini? Mending gemuk-kekar. Nah, ini, kurus! Apa untuk tali jemuran kolorku saja!”
“Dia bisa mencuci mobil, misalnya. Atau membelikan rokok. Atau memijiti kita kalau sedang capai. Dia ini jago mijitin ayahnya. Bukan begitu, Kecik?” Anak itu mengangguk takut-takut.
“Yang memberikan makan dan minum siapa?”
“Aku punya sedikit uang, Bang!” Kecik mengeluarkan gumpalan uang seribuan itu.
Sujak tertawa mengejek. “Uang itu hanya bisa mengelap ingusmu saja!”
“Biar memakai uangku saja!” Kyai menengahi.
“Apa kau ada uang?” Truk berjalan pelan. Sebuah bis berukuran jumbo berpapasan dengan truk mereka di jalan yang sempit.
“Tadi aku bawa dari rumah.”
“Kalau uangmu habis?” Sujak melajukan truk lebih kencang.
“Kita memakai uang jalan saja, Bang!”
“Kau siap dipotong gaji?” bentak Sujak. Kyai Ali mengangguk ragu-ragu. “Lalu kalau uang jalan kita habis, bagaimana?”
“Kita pikirkan nanti saja, Bang!”
Percakapan yang tak lebih seperti pertengkaran itu, usia sudah. Sujak asyik dengan rokoknya. Kyai Ali menatap awas ke depan. Kalau ada yang membahayakan, seperti mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan, dia bisa mengingatkan sopir. Sementara Kecik setelah menikmati sepotong ubi dan minum kopi, bisa tertidur lelap.
Sekadar membunuh sepi, juga untuk membuat Sujak lebih bersimpati kepada Kecik, Kyai Ali menceritakan tentang kisah sedih teman kecilnya itu. Pertama-tama Sujak hanya menggumam dan sesekali mendengus. Lambat-laun dia mau juga menanggapi. Saat Sujak melihat sepintas ke arah Kecik yang tertidur lelap, Kyai melihat mata lelaki itu berlinang. Selama Kyai mengenalnya, baru kali inilah Sujak bertampang memelas, dan hampir-hampir mengeluarkan air mata. Mungkin tak ingin dicap cengeng, Sujak kembali fokus menatap ke depan.
“Kau tahu, masa kecilku hampir sama seperti anak ini! Bedanya dia terus-terusan dihajar oleh ayahnya sehingga memilih minggat. Sedangkan aku minggat karena ingin bebas-merdeka. Aku ingin bertualang. Padahal Ayah mengharapkanku menjadi polisi. Cita-cita Ibu lebih hebat. Dia ingin aku menjadi dokter. Tapi aku akhirnya menjadi berandalan yang tak lelah mengelilingi kota-kota dan kampung-kampung. Belakangan aku memilih menetap di daerah kalian. Menjadi berandalan dan menjadi sopir seperti sekarang.”
“Itu artinya?” Wajah tegang Kyai Ali mencair.
“Artinya, aku membolehkannya bekerja di truk kita.” Dia tertawa keras. Kyai Ali ikut tertawa. Kecik terbangun. Dia bingung melihat Sujak dan Kyai Ali sama-sama tertawa. Apanya yang lucu? Anak itu mengeleng-geleng saja kemudian meneruskan mimpinya.
Perjalanan dilanjutkan. Beberapa kali Sujak menguap. Matanya berair. Dia melirik ke arah Kyai Ali yang mulai terkantuk-kantuk. Kemudian sepintas melihat Kecik. Saat matanya tak sadar sekejap terpejam, suara dentuman tiba-tiba terdengar. Sigap Sujak melambai-lambaikan tangan ke luar jendela kabin truk sambil menginjak rem. Semoga saja sopir truk di belakang melihatnya dan mengerem mendadak.
Seisi kabin truk tersentak. Kepala Lobe membentur sandaran jok. Dia meringis dan langsung duduk. Kyai Ali merangkul Kecik agar tak terhempas ke dashboard.
“Ban pecah!” Sujak memukul kemudi. Yang lain mengangguk. Kecik mengusap dada. Truk yang tadi berhenti di belakang, perlahan menyalip mereka. Seseorang berambut gondrong menyembulkan kepala dari jendela kabin truk itu.
“Peralatanmu ada, Jak?”
“Ada! Tunggu saja aku di rumah makan Mbak Inah,” jawab Sujak sambil membuka pintu kabin sedikit. Lima truk yang serombongan dengannya, pun menyalip satu demi satu. Ada yang menyapa. Ada yang bertanya. Selebihnya hanya mengklakson.
Setelah suasana terlihat sepi, buru-buru Sujak keluar dari kabin. Dia berjalan ke belakang truk bagian kanan. Intsingnya berjalan, bahwa benar bannya pecah di sebelah situ. Menyusul Kyai Ali membawa kotak perkakas. Lobe sebentar berdiri di dekat ban depan truk bagian kiri. Dia kencing.
Kecik yang tak ingin bersantai, ikut turun. Dingin malam menelusup ke dalam pori-pori kulitnya. Gelap menyungkup membuatnya bergidik. Rerimbun daun-daun pohon, bertambah membuatnya bergidik. Dia tak takut hantu atau segala jadian. Dia hanya ngeri membayangkan serombongan orang keluar dari balik pepohonan sembari membawa senjata api atau tajam. Sudah kerap terdengar bahwa di jalan-jalan sepi begini, selalu ada pembajakan mobil. Bisa jadi pecahnya ban truk karena ulah jahil pembajak atau biasa disebut bajing loncat itu. Tujuannya jelas saja supaya mereka berhenti, kemudian bajing loncat itu menggasak seluruh barang berharga di dalam bak truk.
“Kau takut?” tanya Kyai Ali saat Kecik sudah berdiri di dekat ban yang pecah itu.
“Sedikit!” Bibir Kecik bergetar.
Sujak mendengus sambil memukul bak truk. “Ayo, cepat! Ganti bannya dengan ban serep! Jangan melongo terus. Mau dimakan bajing loncat, apa?”
Lobe langsung membuka baut-baut pelak ban yang pecah. Kyai Ali menyuruk ke bawah truk demi membuka ban serep.
“Kau ambil dahan pohon atau semak sebagai pertanda truk kita sedang berdandan! Kau beri aba-aba kalau ada mobil mau lewat!” Sujak bagaikan komandan militer saja. Matanya hendak melompat. Kecik yang setengah melamun, langsung terlonjak. Dia sadar ucapan itu ditujukan kepadanya. Bergegas dia memasuki sela-sela pohon dengan hati cemas. Dia mulai menyesal mengapa ikut menumpang truk ke Jakarta. Andai saja dia di rumah, pasti dia tengah bergelung selimut dan bermimpi indah. Mengenai amarah Boy yang menggebu, toh sudah kerap dihadapinya. Adakalanya ayahnya itu pemarah, tapi di lain waktu dia bisa saja berbaik hati, terutama bila pijatan Kecik bisa membuatnya bersendawa berkali-kali.
Kecik membayangkan sesosok tubuh muncul tiba-tiba dari sela pohon. Sepasang matanya seolah mencengkeram tubuh Kecik yang ringkih. Sekejap itu pula tangan yang kejal dan liat, mencekik leher anak malang itu. Menyusul pula sosok-sosok lain dari sela-sela pohon. Mereka menyandera anak itu, lalu menodong seluruh awak truk. Seluruh barang di truk pun berpindah ke tangan mereka.
“Hoi, alanglah lamanya kau mengambil dahan pohon itu!” Suara Sujak menggelegar. Lamunan Kecik buyar. Buru-buru dia mengambil dahan yang cukup besar, dan jelas cukup berat ditarik oleh tangannya yang kurus. Begitulah, ketika dia hampir berhasil menyeret dahan itu dari sela-sela pohon, sebuah tangan berbulu berhasil menghentikan gerakannya.
Kecik mendongak. Seorang tinggi besar berjambang telah berdiri seperti raksasa di depannya. Orang tinggi besar itu mencoba tersenyum. Namun bagi Kecik, itu hanyalah seringaian seekor macan lapar. Dia hampir berhasil lari lintang-pukang, kalau saja orang itu tak berhasil mencengkeram tangannya.
“Mobil kalian rusak, ya?” Orang itu merengkuh bahu Kecik. Berdua mereka berjalan menuju jalan raya. Sujak yang melihat kedatangan mereka, buru-buru memegang erat kunci roda. Kecik melihat samar urat-urat tangan sopir itu bertonjolan. Semoga saja tak terjadi apa-apa.
“Pecah ban, ya?” tanya orang itu.
“Hu-uh!” Sujak siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Begitu pula Lobe, juga Kyai Ali yang tiba-tiba keluar dari bawah truk sambil menyeret ban serap. Betapa pun orang di dekat mereka berusaha beramah-tamah, tapi tujuannya kurang jelas. Bisa jadi dia sedang menunggu kawan-kawannya, yang muncul dari rerimbun hutan dan langsung melucuti segala barang berharga mereka.
Sekian menit berlalu, tak ada gejala akan terjadi sesuatu yang membahayakan. Orang itu malahan ikut membantu memasangkan ban serap. Dia juga menawarkan rokok dan sebotol minuman berbau tajam. Kecik tak tahu minuman apa itu. Tapi di antara awak truk, hanya Sujak dan Lobe yang tak menampik tawaran rokok dan minuman berbau keras itu. Sementara Kyai Ali menolak halus.
Orang itu memperkenalkan dirinya. Namanya Herman. Dia seorang pemburu babi yang datang dari kota Lampung dan kebetulan kemalaman. “Kami sekadar berolahraga berburu.” Dia memain-mainkan sebatang rokok di sela jemari tangannya.