Debu Masa

Rifan Nazhip
Chapter #3

Chapter#3 Tersesat

Antrian bergerak seperti siput. Sekian jam berselang, truk sudah berjalan di atas aspal menuju kota Jakarta. Sekitar satu kilometeran menuju sebuah pintu tol, mereka dihambat antrian panjang. Kabar yang berhembus dari depan, ada truk box bertabrakan dengan sedan. Mungkin butuh waktu lama hingga jalan kembali lancar.

“Ada terus masalah!” keluh Lobe. “Tubuhku sudah pegal ingin dipijat.”

“Kau ini, Be, be! Sabar saja dulu. Kau gantikanlah aku menyetir truk ini! Aku juga capek.” Sujak pindah ke jok belakang. Lobe mengumpat. Namun dia tetap mengambil posisi di belakang kemudi.

“Masih lamakah jalan yang macet ini, Kyai?” Kecik mengusap wajahnya yang mulai legam dipanggang matahari.

“Mungkin sampai beberapa jam lagi!” gerutu Lobe sambil memukul kemudi.

“Sabar saja!” Kyai mengusap lengan anak di sebelahnya.

Dua jam lebih, tak ada tanda-tanda antrian panjang bakalan bergerak. Perut mereka mulai keroncongan. Dan bukan persoalan mudah mendapatkan warung makan, apalagi yang namanya restoran. Rumah-rumah penduduk lumayan jauh dari jalan tol.

“Kau lihat rumah yang bercat kuning itu, Kecik?” Sujak merogoh kantong celananya. “Dulu aku pernah makan di situ. Tepatnya di sebelah rumah itu ada warung makan. Biar pun tak berlauk lezat, namun bisalah membantu mengenyangkan perut yang keroncongan ini. Belilah empat bungkus. Lauk apa saja, terserah.”

“Tapi bagaimana kalau Kecik nyasar?” Kyai protes.

“Kau ingatlah baik-baik cat truk ini. Kau ingat nomor platnya. Paham? Apa kau takut ke sana?” Sujak seolah mengejek.

Anak itu tak mau ditantang, apalagi dengan nada seperti mengejek. Dia lekas mengambil uang di genggaman Sujak, dan turun dari kabin truk. Pagar pembatas jalan tol dengan rimbun perdu di seberangnya, dilompati anak itu. Kemudian dia menuruni tebing yang lumayan curam.

Dia menatap ke depan. Ternyata taksirannya melenceng. Tadi, dia berpikir rumah bercat kuning itu dekat-dekat saja. Ternyata sangat jauh. Butuh lima menit baru dia tiba di sana, lalu menelan kecewa. Seorang lelaki seumuran Boy, duduk di bale-bale depan rumah bercat kuning itu. Tak ada warung di sebelahnya seperti yang diceritakan Sujak.

“Pak, warung makan yang di sebelah rumah ini pindah ke mana?”

Lelaki itu melongo. “Warung makan? Ah, lo mengada-ada! Gua kagak tau. Ada sih warung makan, tapi jauh sini.”

“Di mana, Pak?”

“Noh, di pinggir jalan kota.”

“Lewat mana?”

“Ikuti saja lorong di sebelah kiri ini. Nanti ketemu deh!”

“Terima kasih, Pak!”

Kecik hampir memutuskan balik arah menuju truk, dan mengatakan warung makan tak ada. Tapi itu artinya, dia tak memiliki kecakapan apa-apa. Tak ada sumbangsih yang berarti darinya sejak mereka berangkat dari kampung. Kecuali sekadar mencari-cari dahan atau semak menjadi penanda truk mereka ketika sedang pecah ban. Itu pun tak berhasil dia lakukan. Nanti apa tanggapan Sujak dan Lobe? Meskipun mereka tak marah, yang pasti suara sumbang akan memenuhi lobang telinganya sepanjang jalan.

Kecik memutuskan melewati lorong itu. Semakin masuk ke dalam, semakin pula dia bingung melihat lorong yang mengular dan berliku. Ternyata begitu banyak persimpangan. Dia terpaksa mengikuti kata hati mau melangkah ke mana. Saat berhenti di dekat gardu hansip, dia kembali berniat balik arah menuju truk. Hanya saja dia tak tahu lagi, lorong mana yang harus dia tempuh. Seorang perempuan yang melintas dan sedang menggendong anaknya, menimbulkan harapan baru di hati Kecik.

“Bu, jalan besar di mana?”

“Maksud lo jalan besar mana? Di sini banyak jalan besar. Kalau kagak ada namanya, gua juga bingung.”

“Yang banyak mobilnya!”

“Di sini banyak mobil! Di jalan sana juga banyak!”

“Yang banyak truk dari luar kota!”

“Di mana-mana banyak truk dari luar kota. Lo tadi jalan dari arah mana?”

“Tak tahu!”

“Huh, sudahlah!” Perempuan itu pergi.

Kyai Ali mulai blingsatan menunggu Kecik. Pertama-tama dia tak terlalu cemas ketika anak itu keluar dari kabin truk. Setengah jam berselang, barulah dia cemas. Dia menyalahkan Sujak karena tega menyuruh Kecik yang buta Jakarta untuk mencari makanan di warung yang entah ada atau tidak.

“Pokoknya aku yakin ada! Mungkin saja banyak pembeli yang antri.”

“Bagaimana kalau dia tak menemukan warung makan itu, lalu mencari-cari dan akhirnya tersesat?”

“Ah, dia kan bisa pulang ke mari kalau merasa gagal mendapatkan warung makan itu.” Sujak membela diri. “Sudah! Jangan risaulah!”

“Jangan risau bagaimana, Bang? Sudah  setengah jam ini.”

“Iyakah?” Sujak melihat ke arah rumah bercat kuning itu. Dia tiba-tiba risau juga. “Kau susul saja dia, Be! Kalau makanan tak ada di warung itu, balik saja ke mari. Biarlah puasa dulu sebentar.”

Lobe keluar menerabas panas yang menyengat. Kyai hendak menyusul, tapi tangan gempal Sujak menahan tubuhnya.

Lihat selengkapnya