Debug Reality

Renaldy Naldyn
Chapter #2

Bab I : Glitch

Pagi yang tampak normal di kampus. Langkahku lemas, semalaman tak bisa tidur memikirkan kejadian semalam. Aku berjalan menuju ruang senat fakultas, berharap bisa menemukan Arthur di sana.

Keramaian di tengah kampus menarik perhatianku. Suara sorak-sorai, siulan, dan teriakan menggema di udara. Di lapangan, sedang berlangsung lomba futsal antar kampus. Wajar saja ramai, final hari ini. Tapi aku tidak bisa ikut terbawa euforia. Pandanganku melintas di antara kerumunan, mencari satu wajah familiar.

Kutemukan ia di tengah keramaian, dengan bandana merah di kepala ia bersorak ria merayakan kemenangan. Ku tepuk bahu kanannya dari belakang, refleks ia melihat kearahku.

"Kelamaan lu, udah kelar ini," ucap Arthur sambil melangkah ke arah tempat yang lebih sepi. Aku mengikutinya dari belakang, menyandang tas yang kosong, aku sengaja tak membawa laptop setelah kejadian semalam.

"Lu ketiduran? Nggak ikut supporteran gini, ga solid banget," katanya, lalu duduk di bangku depan ruang senat.

"Enggak. Emang nggak niat ikut. Lagian... ada sesuatu yang mau gue omongin," aku duduk di sebelahnya. Tarikan napasku dalam, mencoba menyiapkan diri. "Website AI yang lu kasih kemarin itu rusak, ya? Jujur aja, ada yang aneh banget pas gue buka."

"Maksud lu rusak?" Arthur mengeluarkan ponselnya, membuka halaman yang kami bicarakan. "Enggak tuh, bisa kok. Tuh liat."

Ia menunjukkan layar ponselnya. "Bahkan AI-nya setuju lu susah dapet cewek kalo penampilan lu gini." Ia tergelak keras.

Aku menatap layarnya. Normal. Tak ada simbol aneh. Tak ada suara. Tak ada cahaya menyilaukan.

Aku diam, mencoba mencerna. Seolah kejadian semalam hanya ilusi. Tapi perasaan di dalam dadaku tak setuju dengan logika itu.

"Lucu banget ya, kayaknya semesta emang pengen lu jomblo," ia masih tertawa, santai, seolah tak ada hal serius yang sedang kupikirkan.

Aku hanya mengangguk pelan. Tapi ada yang ganjil. Pundakku terasa berat. Bukan karena begadang, tapi lebih seperti... ditekan. Seperti ketika kamu tahu ada sesuatu yang salah, tapi belum tahu dari mana datangnya.

"Lu kenapa sih, diem amat?" Arthur menepuk bahuku, membuatku sedikit tersentak.

"Gak tau, gue cuma ngerasa... aneh aja." Aku mencoba menyusun kata. "Kayak apa yang gue liat semalam tuh bukan hal biasa."

Dia menghela napas, berdiri. "Bro, lu begadang, ngoding, terus ngelamun di depan laptop. Itu aja. Otak lu nyampur mimpi sama realita."

Mungkin benar. Tapi mungkin juga tidak. Karena bahkan sekarang aku masih merasa janggal, seolah – olah apa yang telah ku alami itu nyata. Mungkin ini sebatas halusinasi, atau mungkin pekerjaan yang terlalu berat menimbulkan tanda – tanda stress padaku.

"Emangnya lu liat apaan sih semalem? Hantu? Apa maling? Apa lu ngeliat kalo kode – kode python lu itu keluar dari laptop terus ngomong pake printf 'Dipta jomblo gapunya pacar~' gitu kah?" Arthur kembali tertawa geli. Menggodaku memang hobi wajibnya.

"Kayaknya gua halu doang sih, tapi entahlah, kayaknya terasa nyata aja." Aku menggeleng, menepis pikiranku sendiri.

"Udahlah, gausah dipikirin. Ayo ke kelas."

"Kelas? Makanya kalo punya HP itu baca grup, orang hari ini kelasnya batal gara – gara dosen pada rapat"

"Eh? Masa?" Aku buru-buru merogoh saku, menyalakan ponselku. Layar menyala, tapi yang muncul bukan notifikasi atau chat—melainkan simbol-simbol aneh, mirip seperti yang kulihat kemarin malam. Aku menahan napas, tubuhku kaku, simbol itu bergerak cepat, seolah memperhatikanku.

"Kenapa weh" Arthur mengambil ponselku yang terjatuh "HP kok dibuang – buang, heran gua" Ia melihat layarnya. "Normal ini. Cuma jam, wallpaper sama baterai."

Aku menatapnya. Tak percaya. Tadi ada. Aku yakin. Aku melihatnya. Tapi sekarang... menghilang seolah tak pernah ada.

"Lu gapapa, bro?"

Aku diam. Tatapanku kosong. Pertanyaan-pertanyaan mulai menumpuk: Apakah hanya aku yang bisa melihat ini? Atau lebih parah lagi, apakah hanya aku yang dipilih untuk melihat?

***

Aku berjalan mengikuti Arthur, melintasi gedung fakultas dengan santai. Suara sepatu menyentak lantai keramik disertai sorak tawa dari mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kelas pagi ikut meramaikan suasana kampus. Hari itu normal seperti biasanya.

"Laper banget nih gua" Arthur menghentikan langkahnya. "Kantin kuy, mumpung belom rame nih, sabi lah mie ayam semangkok sambil ngobrol tipis."

Aku hanya mengangguk tipis. Kami melaju ke kantin kampus dengan langkah yang sedikit dipercepat. Di kampus ini, hanya ada satu kantin utama. Suka nggak suka, siapa cepat dia dapat. Kantin ini semacam titik temu antar semesta, fakultas beda jurusan, beda angkatan, beda dunia, semuanya tumpah ruah di sini. Mulai dari tugas kelompok, jual beli barang bekas, debat ideologi, bahkan drama patah hati. Segala interaksi sosial dikompres jadi satu tempat: kantin.

Benar saja, kantin belum terlalu ramai. Kami langsung mengamankan meja paling pojok, tepat di depan warung langganan kami. Warung Mpok Ros 17, nama yang absurd, tapi legendaris. Entah kenapa selalu ada embel-embel angka di akhir, padahal Mpok Ros-nya cuma satu dari dulu.

"Eh kang Arthur, pagi – pagi banget udah disini." Sapa Mpok Ros sembari berdiri dari tempat duduknya.

Lihat selengkapnya