"Jangan buka gordennya.." Arthur gemetar panik, membeku di tempat ia berdiri.
Aku melangkah maju, tangannya mencengkeram lenganku, memberi isyarat bahaya. Tapi aku menepisnya. Jika tak diselidiki sekarang, teror ini tak akan pernah selesai.
Aku berdiri di depan gorden, menarik napas dalam, lalu meraih ujungnya. Kutarik dengan cepat. Tak ada apa-apa di jendela.
Aku menoleh belakang, Arthur berdiri gemetar, menunjuk ke arah monitor dengan tangan kaku. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar, hanya napas pendek dan panik. Dia memberi isyarat agar aku melihat layar.
Aku menoleh ke laptop, mataku membelalak. Layar monitor berkedip liar. Garis-garis biru muncul acak, seperti error fatal. Wajah sebelumnya tertutupi glitch berubah menjadi seram. Wajahnya terdistorsi, seolah tak bisa dikenali. Pipi yang terbelah, mata yang hanya titik-titik gelap, mulut menyeringai namun berantakan seperti sobekan. Wajah itu tidak sekadar ditampilkan. Ia melihat balik ke arah kami.
Lalu wajah itu bergerak, bukan animasi, bukan video. Ia bergerak seperti menyadari keberadaan kami.
"Matikan!" bisik Arthur dengan suara tercekat. "MATIKAN!"
Aku menekan tombol power. Tidak bereaksi.
Layar makin kacau, suara dari speaker mulai mengeluarkan suara desis dan klik aneh, seperti rekaman yang rusak.
Listrik di gedung kos mendadak padam lagi. Namun kali ini, hanya lampu di kamarku yang masih menyala, berkedip cepat, tak beraturan.
Arthur jatuh terduduk, panik. Dari layar monitor sosok itu muncul, bukan keluar sepenuhnya, tapi tubuhnya menekan dari dalam, seperti sedang mendorong batas realitas. Tangan gelapnya menekan permukaan layar yang mulai melengkung, lalu retak dari dalam. Pecahan digital menyala merah di tepiannya, seperti luka bakar elektronik.
Aku mundur, terhuyung. Arthur menggigil, matanya tak berkedip. Sosok itu mengeluarkan suara, bahasa asing yang mustahil dipahami. Setiap kata menggema seperti data yang terdistorsi, membuat kepala kami berdenyut.
Lampu berkedip makin cepat. membuat segalanya buram. Tangan makhluk itu meraih keluar. Tapi anehnya... tak merusak apa pun. Ia hanya ada. Nyata dan tidak nyata sekaligus.
Lalu ia menghilang. Bersamaan dengan pekikan tajam, frekuensi tinggi yang merobek telinga kami. Kami serempak menutup telinga, menggertakkan gigi dan dalam sepersekian detik yang mencekam itu listrik kembali menyala seolah tak terjadi apa-apa.
Kami tetap terdiam. Listrik menyala kembali. Layar monitor kini hitam legam, retak halus menjalar seperti jaring laba-laba di permukaannya. Tak ada tanda-tanda sosok itu. Tak ada suara. Hanya detak jantung kami yang terus menghantam dada.
Arthur menatapku. "Lu... ngeliat tadi, kan?"
Aku mengangguk pelan. Tenggorokanku kering. "Itu... nyata."
Dengan langkah berat, Arthur berdiri. Matanya terpaku pada layar yang rusak, seakan berharap semua ini cuma error biasa.
"Ternyata lu ga halu Dip" Ia menggeleng. "Ini bukan sekadar error atau stress... ini arwah gentayangan Dip!"
Aku tak menjawab. Pandanganku tak lepas dari layar itu, seolah sisa kehadiran makhluk tadi masih tersisa di sana. Ada sesuatu yang menggelitik di belakang kepalaku semacam firasat. Rasa bahwa semua ini berkaitan dengan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tersembunyi.
Aku mencoba menyalakan laptop, berharap tak ada yang terjadi selain sisa retakan di layar. Sekali tekan tombol, perangkat itu menyala dengan normal, terlalu normal. Retakan tadi hilang begitu saja, seolah tak pernah ada. Layarnya bersih, tak ada satu pun aplikasi tersisa. Semua hilang, tergantikan oleh satu folder asing di tengah desktop.
Nama folder itu ditulis dengan huruf aneh, tak bisa kubaca, tak pernah kulihat sebelumnya. Sama seperti simbol yang muncul semalam dan di ponselku.
"Apaan nih..." gumamku pelan sambil menggerakkan kursor ke folder itu.
Baru saja jariku menyentuh touchpad, Arthur berdiri tergesa. Ia menahan lenganku.
"Mending jangan dibuka, Dip."
Aku menoleh, menatapnya tajam. "Kita mau apa, diem aja ngeliatin? Laptop gua aneh gini terus didiemin?"
Arthur menggeleng cepat. "Mending kita bawa ini ke tukang servis. Biar yang ngerti aja yang urus."
Aku menepis tangannya. "Terus? Tukang servisnya liat layar normal, gak liat yang kita liat. Kita dikira ngaco, kaya waktu awal lu gak percaya sama gua."
Arthur terdiam, lalu menghela napas. "Lu bener, tapi nggak sepenuhnya. Tukang servis mungkin bisa liat ada file rusak atau keanehan sistem, minimal buat ngecek dari sisi teknis. Gak cuma ngeliatin folder aneh."
"Buang-buang duit. Ini bukan kerusakan biasa Tur, ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang cuma kita yang bisa lihat."
Arthur masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Oke. Tapi janji satu hal."
"Apa?"
"Jangan buka folder itu. Apa pun yang terjadi."
Aku tidak menjawab, hanya membalas tatapannya. Arthur lalu mengeluarkan ponselnya.