Debug Reality

Renaldy Naldyn
Chapter #4

Bab III : The Corrupted

Aku dan Arthur berlari menuruni tangga. Nafas memburu, langkah nyaris tak terkontrol. Entah berapa orang yang kami senggol, tak satu pun kami pedulikan. Begitu tiba di lapangan, langkah kami terhenti.

Orang-orang diam. Membeku di tempat seperti patung. Beberapa pingsan. Mayoritas berdiri menatap ponsel mereka tanpa berkedip, seakan terhipnotis oleh sesuatu yang tak kasatmata.

Arthur mendekati seorang mahasiswa, mengintip layar ponselnya, bahasa aneh itu tulisan asing yang sama persis seperti yang muncul di laptopku dan ponselku pagi ini.

“Dip…” Arthur menoleh padaku, wajahnya pucat. “Gue punya firasat buruk.”

“Apa maksud lu?” tanyaku waspada.

Dia menunjuk ke arah gedung Fakultas Hukum. Aku mengikuti arah tangannya. Mataku membelalak.

Aku melihatnya secara langsung, semua orang yang mengakses ponselnya dari jauh, bahkan dari jendela lantai empat Fakultas Hukum, langsung terdiam membeku. Mereka tidak pingsan. Tidak pula histeris. Mereka hanya diam. Menatap layar mereka masing-masing seolah ada sesuatu di dalam sana yang mengendalikan pandangan mereka.

“Jangan akses HP lu. Apapun yang terjadi.” Arthur mencengkram lenganku.

Aku mengangguk. “Terus... kita harus gimana?”

Sebelum jawaban datang, suara itu menggelegar dari videotron, teriakan digital yang melengking dan menusuk kepala. Aku refleks menutup telinga. Sekelilingku ikut terguncang. Beberapa mahasiswa jatuh tersungkur, beberapa lainnya mulai berteriak panik. Situasi berubah menjadi kekacauan total.

Tanpa sepatah kata, kami melangkah bersamaan mundur dari lapangan yang sudah menjadi arena mimpi buruk. Begitu suara makhluk dari videotron semakin terdengar lebih ganas dan lebih nyata dari sebelumnya, kami langsung berlari. Secepat – cepatnya. Menerobos kerumunan yang sudah membatu.

Beberapa mahasiswa masih berdiri, mematung di bawah terik matahari. Ponsel mereka tetap menyala di tangan. Tak satupun dari mereka bereaksi saat kami menyenggol bahu mereka atau bahkan berteriang langsung ke telinga mereka.

“Arthur! Selasar belok kanan!” teriakku.

Kami berbelok. Hanya ada suara sepatu kami yang bergema ditemani suara teriakan yang sangat melengking. Seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu juga membatu dengan ponsel di tangannya tergenggam erat.

“Gila…” gumam Arthur. “Ini kiamat apa gimana sih”

Kami terus berlarian, menyusuri seluruh tempat. Perpustakaan, ruang – ruang unit kegiatan mahasiswa, kelas per kelas, semua telah kami lalui dengan hasil nihil. Kami langsung mengarah ke satu – satunya tempat yang pasti ramai setiap saat, kantin. Tapi begitu sampai, harapan kami runtuh dalam sekejap.

Suasananya sunyi. Piring-piring makan siang tersisa di atas meja. Bangku-bangku kosong bergoyang tertiup angin dari kipas langit-langit. Beberapa orang masih terlihat, tapi dalam posisi yang aneh, seorang mahasiswi berdiri kaku sambil memegang botol minum yang jatuh di lantai. Dua lainnya tertidur di meja, tapi dengan mata terbuka, kosong, tidak berkedip.

Aku mulai gemetar. “Kita bener – bener sendirian?”

Arthur menggigit bibir. “Nggak, pasti nggak. Harusnya ada orang lain-“

KREEEKK.

Suara aneh memotong ucapannya. Kami menoleh bersamaan ke arah sumbernya, lampu sebuah vending machine di pojok kantin berkedip – kedip dengan tempo yang cepat. Layar monitornya menunjukkan distorsi, garis – garis biru memenuhinya. Retakan muncul di permukaannya. Tak lama sebuah tangan keluar dari layar tersebut.

“Kabur ga sih…” Arthur gemetar menarik tanganku. 

BRAAKKK

Kaca vending machine itu pecah, meledak dari dalam, berserakan ke segala arah. Sosok entitas itu keluar dari monitor yang sangat amat kecil. Entah bagaimana caranya, sosok itu seperti sedang menembus dimensi. Badannya tinggi, tapi tak bisa dikatakan manusia. Wajahnya persis seperti yang kami lihat sebelumnya. 

Lihat selengkapnya