Debug Reality

Renaldy Naldyn
Chapter #5

Bab IV : Morvex

Langkahku seperti sedang menarik bola besi yang besar. Napasku berat, nyaris tersedak udara dingin yang penuh serpihan data membusuk. Aku dan Arthur berlari menuju gedung fakultas untuk ketiga kalinya hari ini. Tembok-tembok di sepanjang lorong kini dipenuhi glitch ungu kebiruan, seperti luka terbuka pada kulit dunia. Semua perangkat elektronik telah mati terserap energinya oleh monster yang bahkan belum sempat kami beri nama.

Suara itu masih terdengar, teriakan, dengung patah, glitch digital yang menggaruk realitas. Aneh dan menyakitkan. Kami naik lagi, tangga yang sama, lorong yang sama. Dunia ini terasa seperti loop, menyeret kami kembali ke titik awal.

Balkon lantai dua akhirnya tercapai. Kosong. Tak ada mahasiswa beku. Tak ada suara kecuali napas kami yang kacau. Raungan monster itu masih terdengar.

“Bentar… gue.. gabisa napas.” Arthur jatuh terduduk di lantai, punggungnya menyender ke dinding retak. Pipinya pucat, bibirnya kering. Ia sudah habis.

Aku berdiri di pinggir balkon, memaksakan diriku melihat ke bawah. Pertarungan itu sengit, aku dapat melihatnya dengan jelas.

BRAKK!

Makhluk itu menghantam dinding bawah gedung fakultas dengan keras. Suara dentuman menggema, membuat seluruh struktur bergetar dan meninggalkan retakan dalam yang membentuk pola aneh, seperti pixel yang rusak. Monster itu bangkit lagi, meski gerakannya tersendat. Lengan-lengannya yang panjang dan fleksibel mengayun liar, sementara wajahnya terus mengalami glitch, seperti data yang rusak dan sedang mencoba memulihkan diri.

Dari balkon lantai dua, aku menatap sosok berhoodie hitam itu. Wajahnya tertutup topeng polos tanpa ekspresi, tubuhnya kurus tapi penuh ketenangan. Tangannya terangkat, dan simbol-simbol aneh mulai muncul, melayang mengelilinginya dalam pola melingkar. Mereka berpendar lembut, seolah kode-kode dari dimensi lain sedang ditulis ulang di udara.

Monster itu meraung, lengan memanjang dan mencambuk ke arah sosok itu. Serangannya memecah sebagian lantai, menyisakan retakan dan puing yang beterbangan. Tapi sang pemakai hoodie menghindar ringan, gerakannya cepat, presisi, seperti tahu arah serangan bahkan sebelum dilakukan.

Simbol-simbol itu menyebar, lalu bersatu, membentuk kubah transparan yang hanya bisa terlihat dari pantulan glitch di udara. Di dalamnya, sang monster terperangkap. Empat simbol membentuk penjuru arah mata angin, lalu berubah menjadi bentuk gembok digital, seolah realitas telah dilubangi dan gambar dua dimensi itu melompat ke dunia kami.

Tiba-tiba, rantai cahaya menjulur keluar dari gembok itu, melilit tubuh monster, menarik dan menahannya dalam posisi menyilang. Monster itu mengerang, tubuhnya berdenyut, datanya melonjak liar seperti mencoba kabur dari protokol yang tak bisa ia pahami.

Sosok misterius itu kembali mengangkat tangan. Kali ini, cahaya dari lengannya lebih terang, simbol-simbol kompleks muncul satu per satu, membentuk lingkaran segel di udara. Ia menggumamkan sesuatu, tidak terdengar jelas dari sini, tapi cukup untuk membuat udara di sekitarnya berdesir.

Lingkaran itu menurun perlahan, menempel di tubuh monster yang memberontak hebat. Rantai cahaya yang tadi terhubung ke perut makhluk itu kini bersinar ungu kebiruan, dan simbol-simbol tambahan mulai muncul, seolah segel itu sedang memindai, memetakan, dan menstabilkan sesuatu yang sangat liar di dalam tubuh makhluk itu.

Aku tak bisa berpaling. Untuk sesaat, dunia terasa seperti program yang sedang ditulis ulang di hadapanku. Dan sang penulisnya… berdiri tepat di bawah kami.

Namun sebelum lingkaran segel itu menempel sepenuhnya, monster itu mendadak bergetar hebat. Suara erangan digitalnya berubah lebih berat, lebih dalam, lebih... sadar. Glitch pada tubuhnya meluas, tak lagi seperti luka, tapi seperti sesuatu yang mengupas kulitnya dan menampakkan struktur barunya yang lebih kompleks.

Simbol-simbol segel yang melayang di udara mulai terdistorsi. Satu per satu pecah sendiri, seperti tidak mampu menahan struktur baru yang sedang dibentuk makhluk itu.

"Monsternya… power up?" aku bergumam pelan. Bahkan dari jauh, tekanan udara di sekitarnya berubah. Bukan lagi sekadar aura kekacauan, ini seperti medan elektromagnetik yang mendistorsi ruang.

Sosok berhoodie itu mundur satu langkah, simbol-simbol di sekeliling tubuhnya menyusut. Ia mencoba mengunci ulang, cepat, membuat simbol baru dengan tangan kirinya. Tapi monster itu bergerak duluan.

BUAKKK!

Dengan satu loncatan liar, monster itu menghantamkan lengannya ke lantai, bukan menyerang, tapi meledakkan data glitch dari tanah, membuyarkan sisa-sisa segel dan menendang balik si hoodie hitam dengan kekuatan brutal.

“Ga mungkin.. dia ga mungkin kalah kan?” aku bergumam, tubuhku refleks maju menuju tangga turun.

Arthur langsung menarik tanganku. “WOI! Mau kemana lu?”

“Gue gamau diem disini kaya pengecut” Aku mendorong tangannya, tapi lututku gemetar. Nafasku sudah sesak, paru-paru seperti diisi pasir.

Lihat selengkapnya