Kilatan cahaya terakhir menyilaukan mata. Tanpa sempat berpikir, gravitasi seperti mencair. Tubuhku serasa dibekukan lalu dijatuhkan ke tanah dalam waktu bersamaan. Dalam sepersekian detik semuanya hilang. Lalu, gelap.
Aku tersadar di sebuah ruangan asing. Lilin menyala redup, cahaya temaramnya menari di dinding beton kusam, menciptakan bayangan yang goyah seperti ilusi. Ruangan ini lebih mirip bunker, atau mungkin laboratorium terbengkalai. Tidak ada jendela, hanya satu pintu logam tertutup rapat di sudut ruangan.
Satu kasur tipis tergeletak di pojok, digulung asal. Di depannya, satu set komputer tua menyala, layarnya menampilkan deretan kode yang bergerak perlahan. Aku tidak mengerti isinya, bukan hanya karena lelah, tapi memang aku tak punya pengetahuan untuk membacanya.
Kepalaku nyeri. Saat meraba pelipis, aku baru menyadari adanya perban. Sedikit lembab entah darah atau hanya keringat. Nafasku berat, tubuhku dingin. Aku berusaha duduk, walau lututku menolak.
"Arthur...?" gumamku pelan. Tak ada jawaban.
Lalu suara pintu berdecit pelan. Cahaya dari lorong luar menjalar masuk. Sesosok bayangan melangkah ke dalam. Aku langsung tahu siapa itu dari bentuk siluetnya, jaket hitam, hoodie menutupi kepala, dan topeng polos tanpa ekspresi yang menyembunyikan seluruh wajahnya.
“Akhirnya sadar juga,” ucapnya. Suaranya seperti suara dari speaker rusak, datar, agak bergetar. “Jangan banyak gerak, luka lu lumayan parah.”
Dia meletakkan sesuatu di meja kecil dekat komputer, obat dan air mineral.
“Arthur?” tanyaku lagi, kali ini lebih tegas.
“Selamat,” jawabnya singkat. “Lagi istirahat di ruangan sebelah.”
Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi tubuhku terasa terlalu berat.
“Tempat apa ini?” tanyaku.
“Safepoint sementara,” jawabnya, masih berdiri tegak di dekat pintu. “Lu aman di sini, untuk sekarang.”
Dia tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Mataku beralih ke layar komputer yang masih menyala. Deretan kode masih bergulir perlahan, seolah tetap bekerja meski tak ada yang mengendalikannya.
“Apa yang lu kerjain di komputer itu?” tanyaku, menunjuk ke arah layar.
“Jangan disentuh,” jawabnya cepat. Nada suaranya sedikit lebih tajam. “Belum waktunya lu tahu.”
Lalu, tanpa memperpanjang percakapan, ia berbalik keluar dari ruangan. Pintu logam menutup kembali, menyisakan aku dalam ruangan gelap dengan hanya suara nyala lilin dan dengung komputer sebagai teman.
Aku menatap layar itu. Deretan angka dan huruf yang menari seakan menantang. Aku tak mengerti maksudnya, tapi entah kenapa perasaanku buruk.
Aku berdiri, menghampiri komputer itu, mencoba memahami apa yang tertulis di layar. Bahasa pemrogramannya asing, tidak seperti Python, C, atau apapun yang pernah kudengar. Tapi setidaknya, huruf - hurufnya masih menggunakan alfabet Latin, tidak seperti kode aneh yang pernah kulihat sebelumnya, yang tampak seperti campuran karakter digital dan simbol acak dari dunia lain.
Aku menarik kursi ke depan layar dan duduk. Tanganku gemetar, bukan karena takut, tapi karena rasa penasaran yang mendesak. Kode di layar tersusun rapi, panjang, tapi tidak familiar. Tidak ada struktur umum seperti if, else, atau import. Bahkan tidak terlihat ada fungsi apa pun. Tapi entah kenapa, susunannya terlihat terlalu sempurna, seperti ditulis oleh sesuatu yang tahu persis apa yang ingin dicapai. Aku menekan tombol Run Program.
Layar berkedip. Gelap sesaat, lalu muncul putih polos, dengan satu kata besar di tengah:
WELCOME
Beberapa detik hening. Kemudian diikuti oleh tanda titik dua dan kurung tutup, membentuk sebuah emoji sederhana:
:)
Aku menunggu. Tidak ada yang terjadi. Hanya layar putih dan wajah tersenyum itu. Untuk program sepanjang itu, hasil ini terasa tidak masuk akal. Aku mengernyit, bersandar, mencoba menebak maksudnya.
Kemudian…
“Kurasa kamu bukan dia” Suara program itu keluar dari speaker komputer. “Siapa kamu?”
Jantungku berdetak cepat. Ini pasti bukan error. Aku bahkan tidak mengubah satu baris pun dari kode itu.
“Lu bisa denger gue?” bisikku pelan.
“Tentu saja. Apa kepentinganmu sampai-sampai harus membangunkanku?”
Aku refleks berdiri, mundur satu langkah dari kursi. Layar itu masih menampilkan wajah senyum kecilnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang ganjil dari ekspresi itu. Terlalu tenang. Terlalu sadar.
“Apa yang ingin kamu ketahui?”
Aku tidak menjawab. Sebagian diriku berpikir ini cuma asisten AI, mungkin dibuat oleh sosok berhoodie itu. Tapi logikanya tidak cukup menjelaskan hal yang sedang terjadi.
“Mau tahu apa yang bisa kulakukan?”
Tiba-tiba, lampu ruangan berkedip tiga kali. Bunyi bzzt lirih menyertai tiap kilatan cahaya.
“Jangan aneh-aneh!” sergahku dengan suara lebih keras.
“Aku? Tidak menginginkan apapun. Namun, dirimu telah menggangguku. Tepatnya mengganggu properti milik Ayah.”
Perlahan aku menyadari, ini bukan asisten biasa. Tapi sebelum aku sempat berpikir lebih jauh—