Tiga hari berlalu. Selama itu kami tetap berada di dalam bunker milik sosok berhoodie itu. Ia tidak banyak bicara. Bahkan soal tempat ini siapa pemiliknya, bagaimana ia bisa punya akses ke teknologi sekompleks ini, semuanya dibiarkan menggantung.
Satu-satunya hal yang ia perbolehkan untuk kami ketahui hanyalah namanya: 003. Atau lebih tepatnya, kodenya. Panggilan yang lebih cocok untuk sistem militer daripada nama manusia.
Latihan kami berjalan intens. Bukan seperti yang dibayangkan Arthur, bukan duel epik dengan senjata api atau sparring dengan monster. Sebaliknya, kami ditenggelamkan dalam dunia kode dan sistem. Bahasa-bahasa pemrograman yang bahkan belum pernah aku dengar sebelumnya, entah ciptaan siapa.
Namun aku belajar cepat. Dalam dua hari, Python mulai terasa seperti bahasa kedua. Ternyata, jika aku cukup serius, aku bisa menyerap semuanya seperti spons. Rasanya ironis… kalau saja aku memiliki semangat ini sejak awal kuliah, mungkin aku bisa jadi mahasiswa paling jenius di kampus. Tapi penyesalan tidak mengubah apa pun.
Hari ini hari keempat. Aku terbangun lebih awal, memandangi komputer di sudut ruangan yang selalu diperingatkan oleh 003 untuk tidak disentuh. Godaan untuk membukanya besar sejak pelatihan dimulai, aku mulai memahami pola bahasa yang digunakan di sana. Tapi kurasa belum saatnya. Masih ada banyak monster yang harus dikalahkan.
Aku keluar ke ruang tengah. Anehnya, Arthur tidak terlihat. Biasanya pagi seperti ini ia sudah menyalakan konsol dan mulai menyemangati dirinya dengan game seperti sedang menjalani misi rahasia. Tapi sekarang tidak ada tanda-tanda dirinya.
Lalu, suara berisik terdengar dari balik salah satu pintu di ujung lorong. Suara hantaman, teriakan, dan sesuatu yang jatuh.
Aku mendekat, membuka pintu perlahan.
Arthur sedang tergeletak di lantai, terengah, berkeringat hebat. Di depannya, 003 berdiri dengan tenang, memegang stopwatch dan papan ujian.
“Lagi,” ucap 003 tanpa emosi.
Arthur mengeluh sambil memutar matanya. “Lu yakin ini perlu? Gue bukan ninja!”
“Tepatnya, lu bukan siapa-siapa kalau lu tetap segampang ini dijatuhin,” jawab 003. “Lu ga berbakat buat pelajarin pemrograman, cuma ini yang lu bisa kalo lu mau hidup.”
Aku menyandarkan tubuhku di pintu, menyilangkan tangan. “Akhirnya lu dapet yang lu mau ya Tur.”
Arthur melirikku, wajahnya lelah tapi tetap bisa nyengir. “Jangan ketawa, lu pasti kena juga.”
003 menoleh ke arahku, menatap beberapa detik seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Dipta ga perlu latihan fisik.”
Aku mengangkat alis. “Hah? Kenapa?”
“Adaptasi lu sama sistem dan bahasa pemrograman lumayan bagus, lu lebih cocok buat jadi otak, ahli strategi buat susun persiapan. Fisik lu nggak bakal banyak gunanya di garis depan, tapi otak lu bisa nyelamatin lebih dari satu nyawa.”
Aku sempat terdiam. Baru kali ini seseorang bilang aku cukup, bahkan dibutuhkan. Tapi sebelum aku bisa mengucap terima kasih atau semacamnya.
“APAAA?! Gue jungkir balik dari pagi, hampir mati karena disuruh push-up pakai sandbag 30 kilo, terus dia cuma duduk mikir?!” protes Arthur, berdiri sambil menunjukku dramatis.
Aku menahan tawa. “Derita orang yang otaknya ga nyampe sih.”
Arthur makin kesal. “GA ADIL! Udah lah dapet jam keren walau namanya jelek, terus disuruh mikir doang? Sedangkan gue jadi samsak doang di garis depan? Eh topeng jelek, ini orang strategi cari cewe aja jelek mau lu suruh mikir?”
003 menyelipkan catatannya ke papan ujian. “Kalo lu bisa kalahin gue dalam lima menit, kalian boleh tukeran. Lu mikir, Dipta yang latihan fisik.”
Arthur memandang 003, lalu memandangku. “Mendingan jadi tukang gebuk deh kalo gitu.”
Aku nyengir. “Lah katanya gak adil?”
Arthur menunjuk wajahnya sendiri. “Gue pikir ada benernya gue jadi tukang gebuk, toh kadang AI aja ga ngerti yang gua tanyain”
003 tak dapat menyembunyikan senyum tipisnya dibalik topeng. “Cocok juga kalian, yang satu mikir satunya lagi tinggal eksekusi.”